Tag Archives: Pengakuan

Pengakuan Seorang Ateis (Perjalanan Iman C.S Lewis)

Taken from:
http://www.cahayapengharapan.org/kesaksian_hidup/texts/pengakuan_seorang_ateis.htm

Selama bertahun-tahun, C.S Lewis penulis karya Narnia, merupakan seorang ateis yang sangat sulit untuk diyakinkan tentang keberadaan Tuhan. Dibutuhkan pergumulan intelektual yang panjang sebelum Lewis akhirnya menerima keberadaan Tuhan. Lewis seringkali membombardir teman-temannya di Oxford, tempatnya belajar dan tempat dimana akhirnya ia mengajar, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang baginya memang tidak ada jawabannya.

“Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu kejam?”

“Mengapa Tuhan Anda mengizinkan seorang bayi meninggal?”

“Mengapa Tuhan Anda mengizinkan hewan yang tidak berdaya menderita sakit?”

“Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu besar tapi hanya satu planet yang dapat didiami?”

“Mengapa alam semesta ciptaan Tuhan Anda ini berjalan sesuai dengan perkiraan para ilmuwan?”

“Jika Tuhan Anda itu baik dan maha kuasa, mengapa begitu banyak dari makhluk ciptaan-Nya yang tidak gembira? Bukankah Ia maha pengasih?”

“Mengapa manusia selalu terlibat dalam perang dan saling membunuh?”

Salah satu teman diskusinya adalah J.R.R Tolkien, penulis trilogi “Lord of the Ring” yang sangat dihormati Lewis sebagai lawannya dalam berdebat. Salah satu hal yang membuat Lewis mempertimbangkan keberadaan Tuhan yaitu dikarenakan hampir semua teman-temannya yang brillian di Oxford merupakan orang yang percaya pada Tuhan, termasuk Tolkien. Di benaknya, ia sering dibayangi pertanyaan, “Mengapa?”

Lewis adalah sosok yang sangat gemar membaca. Semua karya tulisan dari penulis barat yang terkenal dipelajari dan diteliti olehnya. Chesterton, Samuel Johnson, Spenser, Milton, Dante, John Donne, George Herbert dan Bunyan. Ia menemukan bahwa tulisan mereka sangat mendalam, kaya dan begitu nyata dalam menggambarkan kehidupan sehari-hari. Dan penulis-penulis ini semuanya merupakan orang Kristen. Bagaimana dengan penulis-penulis humanis yang terbesar, yang kebanyakannya adalah ateis? George Bernard Shaw, H.G Wells, John Stuart Mill dan Voltaire – mengapa karya mereka terkesan begitu dangkal, tidak kaya ataupun berisi makna bagi kehidupan sehari-hari?

Pada waktu itu Lewis hanya percaya pada rasionalisme dan materialisme. Tetapi di dalam pencariannya yang panjang, ia akhirnya harus mengakui bahwa materi dan rasio tidak dapat menjelaskan pengalaman manusia. Setelah begitu banyak membaca, ia semakin menyakini akan eksisnya satu pengaruh supranatural. Tetapi masih sulit baginya untuk menerima bahwa rasio yang berada di balik alam semesta ini atau pengaruh supranatural itu adalah Tuhan.

Malam demi malam ia bergumul sendirian di kamarnya di Magdalen Kolej, ia terus menolak untuk menerima identitas dan realitas Sang Mutlak. Di musim semi 1929, saat ia sedang berada di dalam sebuah bus di Oxford, tanpa kata-kata dan sesuatu apapun, tiba-tiba ia merasa terbebani dan dingin, seperti manusia es yang tidak terjangkau. Sesaat ia merasa harus membuat suatu keputusan. Lalu, hatinya yang sekeras batu, sedikit demi sedikit mulai mencair. Ia kemudian percaya. Di dalam kesendiriannya di atas bus, ia akhirnya mengakui bahwa Yang Mutlak adalah Roh. Roh adalah Tuhan. Dan Lewis menjadi seorang percaya (theis).

Ia menulis pada temannya, “Aku menyerah. Aku mengaku Tuhan adalah Tuhan.” Ia menggambarkan dirinya sebagai orang percaya yang paling enggan dan patah hati. Ia menulis kepada teman baiknya, “Hal-hal yang mengerikan sedang terjadi kepada saya, sebaiknya Anda segera datang untuk menemui saya, jika tidak saya mungkin akan masuk biara…”

Walaupun Lewis akhirnya menerima eksisnya Tuhan tetapi ia masih belum dapat memahami seluruh konsep tentang Kristus. Ia tidak dapat memahami bagaimana kehidupan dan kematian seseorang yang hidup 2000 tahun yang lalu dapat membantunya sekarang. Ia cukup mengenal Kekristenan untuk mengetahui bahwa teladan Kristus bukanlah jantung dari Kekristenan. Ia tahu bahwa ia harus menyakini bahwa darah Domba Allah itu telah menebusnya sekarang.

Lewis mendiskusikan dilemanya dengan Tolkien. Di suatu malam saat mereka berjalan-jalan di antara rusa dan pohon-pohon besar di taman, Lewis mengutarakan dilema yang dialaminya.

Tolkien berkata, “Kekristenan adalah kebenaran, satu fakta historis.”

“Jika saya tidak memahami makna penyaliban atau kebangkitan atau penebusan, bagaimana saya dapat percaya pada Kristus?” Lewis berdiskusi.

Tolkien yang tahu Lewis sangat menyukai naskah bukunya tentang Hobbit dan mitos, yang akhirnya diterbitkan sebagai trilogi, “Lord of the Ring”, bertanya, “Anda sangat menyukai mitos, bukan?

“Tentu saja” jawab Lewis.

“Apakah Anda senang dengan unsur seorang tuhan yang mati namun hidup kembali?”

“Ya”, aku Lewis, “tapi saya tidak tahu mengapa”.

“Saya juga tidak,” jawab Tolkien. “Mengapa Anda begitu menuntut kejelasan tentang Kekristenan? Terima saja fakta bahwa Kekristenan adalah mitos yang sesungguhnya terjadi.”

“Tetapi mitos itu bohong,” Lewis berargumentasi, “tidak ada nilainya, walaupun mitos begitu menyenangkan.”

“Tidak,” Tolkien berpendapat, “mitos yang Anda katakan bohong itu adalah mitos manusia, walaupun mereka mengandung sedikit kebenaran. Mitos yang sepenuhnya benar – kelahiran, kematian dan kebangkitan Kristus – adalah mitos Allah.”

“Mungkin saya terlalu menuntut dari suatu misteri, tetapi bukankah percaya itu pada akhirnya adalah kasih karunia dari Allah?” Lewis menalar.

Seminggu setelah percakapan itu, Lewis dibonceng oleh kakaknya, Warnie untuk mengunjungi kebun binatang. Perjalanan ke kebun binatang itu hanya berjarak 50 km, tetapi bagi Lewis perjalanan itu menempuh jarak 2000 tahun. Lewis sendiri tidak dapat merumuskan proses atau alasan yang dapat menjelaskan tentang apa yang terjadi. Ia berkata, bahwa seolah-olah selama ini ia sedang tertidur lena dan tiba-tiba ia sadar dan bangun. Saat ia turun dari sepeda motor itu, ia percaya pada Kristus. Lewis dengan rendah hati menyimpulkan, “Itulah kasih karunia Tuhan”. Pada waktu itu Lewis berusia 33 tahun.

Buku pertama yang ditulisnya setelah ia percaya adalah Pilgrim Regress yang mendapat sambutan yang baik dari publik. Lewat buku-buku dan program-program radionya yang popular, Lewis banyak menyakinkan orang awam akan kebenaran Kekristenan. Tetapi Lewis juga sangat menyadari bahwa banyak orang tertarik dengan Kekristenan pada awalnya tetapi, setelah mereka mempelajarinya lebih dalam, mereka akan menolak dengan keras. Karena Kekristenan itu tidak mudah. Tuhan menuntut penyerahan yang total dan memperlihatkan kepada manusia akan jurang yang begitu besar antara daging dan yang supranatural.

Untuk menyadarkan orang Kristen akan bahaya yang mengiringi perjalanan spiritual orang percaya, Lewis menulis 31 artikel yang akhirnya dibukukan menjadi The Screwtape Letters. The Screwtape Letters merupakan surat-surat dari seorang setan senior kepada setan junior, yang sedang belajar bagaimana untuk menghancurkan iman orang Kristen. Buku ini diterbitkan pada tahun 1942 dan Lewis mendedikasikan buku itu kepada Tolkien.

Pergumulan intelektual Lewis dari seorang ateis menjadi seorang percaya membuatnya calon yang tepat untuk menulis tentang apologetika atau mempertahankan iman Kekristenan. Lewis akhirnya menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang sering dipakainya untuk menantang orang-orang percaya. Buku yang berjudul The Problems of Pain yang bertujuan untuk menjelaskan penderitaan kemudian menerima sambutan yang hangat di kalangan orang awam. Ia berkata kepada kakaknya, “Saya harus menyakinkan pembaca bahwa saya menganjurkan Kekristenan bukan karena saya menyukainya atau karena itu baik bagi masyarakat, tetapi karena Kekristenan adalah kebenaran. Hal ini memang terjadi. Suatu fakta sentral dalam keberadaan kita!” Dari seseorang yang keras menolak kebenaran, Lewis kemudian menjadi seseorang yang tidak tergoyahkan dalam keyakinannya akan kebenaran dan eksistensi Tuhan.

(Artikel berdasarkan buku berjudul “C.S. Lewis, Creator of Narnia” oleh Sam Wellman, 1997.)

Polykarpus – 86 Tahun Aku Mengikut-Nya

Taken from:
http://www.cahayapengharapan.org/kesaksian_hidup/texts/86_tahun_aku_mengikutnya.htm

Polykarpus sedang berdoa di dalam kamarnya di loteng ketika pasukan bersenjata lengkap datang mengepung rumah kecil di perkebunan terpencil itu. Rupa-rupanya salah satu pelayan yang pernah melayaninya telah membocorkan tempat persembunyiannya setelah disiksa dengan kejam oleh tentara Romawi.

Polykarpus yang berusia 86 tahun pada waktu itu dengan tenang turun ke ruang bawah dan para prajurit yang ditugaskan untuk menangkapnya langsung kaget karena mereka tidak tahu bahwa Polykarpus yang sedang diburu dengan gencar oleh pihak Romawi itu adalah seorang yang sudah begitu lanjut usianya. Dalam hati mereka bertanya-tanya ada apa dengan orang tua ini yang membuatnya begitu dibenci oleh pemerintah Romawi.

Polykarpus lalu meminta pelayan-pelayannya untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk menjamu tamu yang tidak diundangnya itu. Ia juga meminta diberikan waktu 1 jam untuk berdoa tanpa diganggu.

Polykarpus tidak mendoakan dirinya tetapi menaikkan doa syafaat bagi orang lain. Namun karena terlalu banyak orang yang didoakan oleh Polykarpus, ia baru menyelesaikan doanya setelah dua jam. Akhirnya ia dibawa ke kota dan disambut oleh kepala keamanan kota yang bernama Herod dan ayahnya, Nicetes.

Herod dan Nicetes membawa Polykarpus ke dalam kereta kuda mereka dan dengan lembut coba membujuk Polykarpus. “Apa salahnya untuk mengatakan bahwa Kaisar adalah Penguasamu, dan menyembahnya?” Segala macam cara mereka pakai untuk membujuknya, tetapi Polykarpus berkata, “Aku tidak akan melakukan apa yang engkau minta.”

Karena tidak berhasil, Polykarpus akhirnya didorong dengan kasar dari kereta kuda dan diseret ke stadion tempat para pemimpin Romawi sedang menantinya. Setelah memastikan identitas Polykarpus, Pemimpin Romawi itu dengan lembut coba membujuknya untuk menyangkal Kristus, “Pikirkanlah tentang usia engkau, akuilah kebesaran Kaisar dan bertobatlah. Kutuklah Kristus, dan kami akan membebaskan engkau; Katakanlah engkau tidak ada hubungan apa-apa dengan Dia.”

Polykarpus lalu menjawab, “Aku telah mengikuti Dia selama 86 tahun, dan Dia tidak pernah berbuat salah terhadap aku. Bagaimana mungkin aku menista Raja yang telah menyelamatkan aku?”

Walaupun jengkel dan marah tetapi mungkin karena usia tuanya, mereka terus membujuknya, “Bersumpahlah oleh kebesaran Kaisar.” Polykarpus hanya berkata, “Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah seorang Kristen, jika engkau mau mendengarkan kebenaran Kekristenan, berilah aku waktu dan tempat untuk menjelaskan.”

Jawaban Polykarpus semakin membuat semua yang mendengarkan menjadi berang. “Hewan-hewan buas yang kelaparan sudah disiapakan, jika engkau tidak mau ‘bertobat’ dari ketidakpercayaan engkau kepada Kaisar engkau akan dilemparkan untuk dimakan hewan-hewan buas itu!

Polykarpus menjawab, “Silakan, karena kami tidak terbiasa bertobat dari apa yang baik demi sesuatu yang jahat.”

Lalu diumumkan sebanyak tiga kali kepada orang banyak yang sudah berkumpul di stadion, “Polykarpus telah mengaku bahwa ia adalah seorang Kristen.” Seluruh stadion mulai berteriak-teriak meminta pemimpin Romawi melepaskan singa lapar ke tengah stadion untuk memangsa Polykarpus. Tetapi karena pada waktu itu tidak memungkinkan untuk acara gladiator dan singa, diputuskan bahwa Polykarpus akan dibakar.

“Apakah engkau sungguh tidak mau bertobat? Engkau akan kami jatuhkan hukuman mati dengan dibakar sampai hangus.”

Kata Polykarpus, ” Engkau mengancam aku dengan api yang hanya akan membakar paling lama satu jam, setelah itu apinya padam. Tapi engkau sendiri bodoh dengan tidak menyadari tentang api penghakiman yang kekal, yang telah dipersiapkan untuk orang-orang yang tidak percaya. Apa lagi yang engkau tunggu? Lakukanah apa yang engkau mau lakukan!”

Mendengarkan itu, orang banyak yang bagaikan dirasuk setan mulai mengumpulkan kayu dan bahan-bahan kayu dari toko-toko dan tempat permandian umum. Dengan cepat tumpukan kayu sudah terkumpul. Polykarpus lalu menanggalkan jubahnya dan melonggarkan pakaiannya, dan ia coba juga untuk menanggalkan sepatunya.

Di saat ada yang mau memakukan kaki dan tangannya ke atas kayu supaya ia tidak akan coba melarikan diri waktu api mulai memanas, Polykarpus berkata, “Biarkan saja; jika Tuhan memberi aku kekuatan untuk dibakar di dalam api ini, Ia akan memampukan aku untuk tetap bertahan di atas gumpalan api ini.” Lalu mereka tidak jadi memakunya tetapi sekadar mengikat tangannya di belakang seperti seekor domba yang akan dibawa ke tempat sembelihan.

Lalu Polykarpus menaikkan doanya yang terakhir, “Aku bersyukur Engkau telah mengaruniakan kepada aku hari ini dan saat ini, di mana aku dapat mengambil bagian di antara para martir untuk dibangkitkan kepada hidup yang kekal oleh Roh Kudus, dalam jiwa dan tubuh yang tidak akan dikorupsi lagi. Semoga aku akan diterima di dalam hadirat Engkau hari ini, sebagai persembahan yang berkenan yang telah Engkau persiapkan. Engkaulah Tuhan yang setia dan benar.”

Demikianlah pada jam 2 siang, tanggal 23 Februari di tahun 155, Polykarpus, yang ditahbis menjadi uskup gereja di Smyrna oleh rasul Yohanes sendiri, mati sebagai martir bagi Kristus.

Catatan tentang kemartiran Polykarpus, yang merupakan suatu fakta sejarah ditemukan di antara surat-surat Ireneus yang merupakan murid Polykarpus.

Polykarpus seperti juga banyak orang percaya di zaman ini, mampu untuk mati bagi Kristus karena ia hidup untuk Kristus. Hidupnya secara radikal ditransformasi oleh pekerjaan Roh Kudus – keinginan, kekhawatiran, rasa sakit dan rasa takut tidak lagi mengikatnya. Kehidupan dan kematian Polykarpus merupakan inspirasi bagi semua orang percaya. Ia menyerahkan hidup duniawinya bagi Kristus dan di dalam pengorbanannya, ia memperoleh hidup yang kekal.

DAVID LIVINGSTONE: PENGINJIL DAN PENJELAJAH BENUA HITAM

Taken from:
http://biokristi.sabda.org/david_livingstone_penginjil_dan_penjelajah_benua_hitam

Dirangkum Oleh: Yohanna Prita Amelia

David Livingstone adalah seorang misionaris yang dilahirkan pada 19 Maret 1813 di kota Blantyre, Lanarkshire, Skotlandia. David kecil adalah anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Neil Livingstone (1788-1856) — seorang guru sekolah minggu — dan istrinya Agnes Hunter (1782-1865). Sebagai seorang Kristen yang taat, sang ayah telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap David Livingstone ketika dia masih muda.

Terlahir pada masa revolusi industri di Inggris, memaksa David Livingstone bekerja di sebuah pemintalan kapas selama empat belas jam sehari dengan gaji hanya lima shilling per minggu. Jam kerja yang menyita sebagian besar waktunya membuatnya terpaksa bersekolah pada malam hari di Blantyre Village School. Keluarga Livingstone bukanlah sebuah keluarga yang mengedepankan pendidikan, David Livingstone harus menabung sedikit demi sedikit sebelum akhirnya melanjutkan studi ke Anderson`s College di Glasgow pada tahun 1836 dan memerdalam pengetahuannya dalam bidang kedokteran dan penginjilan.

Cita-citanya kala itu adalah menjadi seorang tenaga medis di Cina. Hal ini dipengaruhi oleh seruan seorang misionaris berkebangsaan Jerman bernama Karl Gutzlaff mengenai kurangnya utusan penginjilan dalam bidang medis di Cina. Pada musim gugur 1838, David Livingstone diterima di London Missionary Society (LMS). David sangat berharap LMS akan mengirimnya ke daratan Cina sebagai tenaga medis. Sayangnya, perang candu pertama yang pecah di bulan September 1839, tidak memungkinkan David Livingstone melakukan pelayanan ke Cina. Akhirnya, Livingstone untuk sementara menetap di Inggris sambil melanjutkan studinya.

DAVID LIVINGSTONE DAN PENGINJILAN

Pelayanan David yang pertama berawal dari perkenalannya dengan Robert Moffat pada tahun 1840. Pertemuan mereka telah menggugah hati David Livingstone untuk menjadi relawan dan pergi melayani di bagian selatan benua Afrika. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, David Livingstone menerima tawaran dari LMS dan bertolak dari Inggris pada Desember 1840 dan tiba di Pangkalan Kuruman pada tahun 1841. Dia mendarat di Benua Hitam dengan membawa “sextant” (semacam kompas), beberapa lembar buku, alat peneropong, dan obat-obatan. Kerinduannya yang terbesar adalah melayani di daerah-daerah yang belum terjamah oleh orang kulit putih.

Setelah beristirahat beberapa hari di Kuruman, David Livingstoe melanjutkan perjalanan ke Lepelole. Suku yang mendiami daerah Lepelole adalah suku Bakwena. Sebagai salah satu media penginjilan, David Livingstone mempelajari bahasa daerah setempat. Namun, keadaan keamanan kurang mendukung di daerah ini, David menyadari bahwa setiap kali dia selesai berkhotbah, banyak orang-orangnya yang dibunuh, ditangkap, atau diusir oleh suku lain. Sebagai jalan keluar, akhirnya pada tahun 1844, David memutuskan untuk pergi ke arah utara, menuju Mabotsa.

Pada tahun 1844, daerah Mabotsa didiami oleh orang-orang Bakhatla. Selama berada di Mabotsa, David sering memberitakan tentang Yesus sambil berkumpul dengan orang Bakhala di antara api unggun. Lagu gereja pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal adalah “There Is a Fountain Filled With Blood”. Di tempat inilah terjadi peristiwa yang mengubah hidup David. Dia diserang oleh seekor singa yang meremukkan bahu kirinya. Akibatnya sungguh fatal karena sepanjang sisa hidupnya, David Livingstone hampir tidak bisa menggunakan tangan kirinya lagi. Di Mabotsa, David menikah dengan putri Robert Moffat yang bernama Marry.

Ketika kelompok misi yang baru tiba di Mabotsa, David pindah ke daerah Chonuane yang didiami oleh orang-orang Kwena. Pada suatu hari, kepala suku yang bernama Sechele memanggil semua anggotanya untuk berkumpul dan mendengarkan khotbah David Livingstone. Hatinya tergerak dan bertobat, sejak saat itu dia menjadi seorang Kristen yang taat. Karena dorongannya, banyak anggota suku yang pergi ke sekolah-sekolah misi.

Musim kering yang berkepanjangan dan menipisnya persediaan air di Chonuane memaksanya untuk pergi ke daerah Kolobeng pada tahun 1847. Saat David pergi ke Kolobeng, dia menyadari bahwa banyak orang mengikutinya. Kebanyakan orang-orang tersebut merasa tidak bisa hidup jauh dari David yang mengobati mereka, mengajarkan membaca, dan terutama menceritakan Yesus yang ajaib. Di Kolobeng, mereka mendirikan sebuah sekolah kecil.

Masa kekeringan tidak berakhir sampai di sini saja. Beberapa tahun ke depan, hujan sangat jarang turun di Kolobeng. Tanah menjadi kering, bahkan air sungai tidak mengalir. Agar bisa selamat dari bencana kekeringan ini, mereka harus pergi ke daerah Makololo dan melewati gurun Kalahari. Dengan dibantu oleh kedua rekannya yang bernama William C. Oswell dan Mungo Murray, David Livingstone melakukan perjalanan melewati gurun Kalahari dan menemukan Danau Ngami.

Keinginan David Livingstone untuk melakukan penginjilan lebih lagi ke daerah utara semakin menggebu. Tapi, David menyadari bahwa istri dan anak-anaknya tidak dapat mengikutinya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk memulangkan keluarganya ke Inggris, sedangkan dia sendiri tetap melanjutkan misinya.

Dalam penginjilannya, David Livingstone selalu menekankan betapa pentingnya mengerti budaya lokal dan kepercayaan masyarakat untuk membuat mereka tertarik terhadap kekristenan. David Livingstone menyadari bahwa kekristenan adalah sebuah ancaman besar bagi masyarakat Afrika. Terutama jika berhubungan dengan upacara tradisional yang menyatukan masyarakat melalui budaya poligami yang dipraktikkan di Afrika. Padahal itu dilarang oleh kekristenan. David Livingstone juga mengalami kesulitan dalam hal bahasa, karena bahasa lokal tidak mengenal kata kasih dalam konsep Allah maupun kata dosa.

PERJALANAN TERUS BERLANJUT

Apa yang dicapai oleh David Livingstone selama perjalanannya, yaitu menemukan daerah-daerah baru. Karena menemukan daerah-daerah baru, ditemukan pula pengetahuan alam yang baru, seperti binatang-binatang baru, tumbuh-tumbuhan yang lain, keadaan alam yang berbeda, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Peta Afrika pertama yang dibawanya dulu, tidak berisi apa pun mulai dari Kuruman hingga Timbuktu, tapi berkat jasanya, peta itu kini telah terisi daerah-daerah secara terperinci dan lengkap. Di tanah airnya, dia disambut sebagai pahlawan nasional dan dielu-elukan oleh masyarakat Inggris. Namun, kepulangannya pada Desember 1856 mengakibatkan perbedaan pendapat antara dia dan LMS yang telah mengutusnya, dan perbedaan itu terus meruncing. David ingin kembali lagi ke Afrika untuk membuka jalur perdagangan dan kekristenan di sana, tapi dia menyadari bahwa LMS tidak akan membantunya dalam hal penjelajahan dan ekonomi. Memanasnya hubungan David dengan LMS itu membuatnya memutuskan untuk melepaskan diri dari yayasan tersebut.

David Livingstone mewujudkan keinginannya untuk kembali lagi ke Afrika dengan bantuan biaya dari pemerintah Inggris dan mengepalai tim ekspedisinya sendiri. Selama lima tahun, David Livingstone melakukan penjelajahan ke daerah Afrika Timur dan Tengah untuk kepentingan pemerintah Inggris.

Dalam ekspedisinya yang kedua ini, David Livingstone harus menelan pil pahit dan menerima kenyataan bahwa ekspedisi ini tidak berjalan seperti yang diinginkannya. David Livingstone membuat keputusan yang salah tentang sungai Zambesi dan riam-riam di Cabora Bassa. Kapal-kapal uap pada masa itu ternyata tidak sanggup mengarungi riam-riam tersebut dan memaksanya berpaling ke sungai Shire yang mengalir di sebelah utara sungai Zambesi menuju Danau Malawi. Tapi sebelum sempat terlaksana, pemerintah Inggris memaksa mereka untuk pulang pada tahun 1863. Ekspedisinya yang kedua dianggap sebagai sebuah kegagalan dan pemerintah Inggris sudah tidak tertarik untuk kembali membiayai ekspedisinya.

Setelah melakukan usaha penggalangan dana yang sulit, David Livingstone kembali lagi ke Afrika pada tahun 1866. Tujuan David Livingstone kali ini untuk mencari muara sungai Nil. Petualangannya membawa David Livingstone ke sungai Lualaba. Ia mengira telah menemukan tujuannya, padahal sebenarnya sungai Lualaba adalah hulu sungai Kongo.

Walau melakukan kekeliruan tentang sungai Nil, namun penemuan geografisnya merupakan harta karun yang tak ternilai bagi ilmu pengetahuan di barat kala itu. Dia menemukan Danau Ngami, Danau Malawi, dan Danau Bangweulu. Tidak hanya itu, David Livingstone juga berjasa memetakan Danau Tangyika, Danau Mweru, dan beberapa jalur sungai, terutama hulu sungai Zambesi.

DAVID LIVINGSTONE DAN PERBUDAKAN

Walau David Livingstone dikenal sebagai seorang penginjil, tapi dia juga memiliki andil yang sangat besar dalam usahanya untuk menghapus perbudakan di Afrika.

Pada saat kuliah, David Livingstone kerap mengikuti perkuliahan yang diadakan oleh Ralph Wardlaw, seorang pemimpin yang pada masa itu secara gigih mengampanyekan anti perbudakan di London. Ketika dia memutuskan untuk pergi ke Afrika Selatan, dia tidak hanya mendapat pengaruh dari Robert Moffat. Dia juga dipengaruhi sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang penganut Abolosianisme (azas yang membela penghapusan perbudakan) yang bernama T.F. Buxon. T.F. Buxon menyebutkan bahwa perbudakan di Afrika dapat dihapuskan dengan membuka sebuah jalur perdagangan yang sah dan penyebaran ajaran Kristen di tanah Afrika.

Ketika melakukan perjalanan ke utara untuk membuka ladang pelayanan baru, Livingstone menjatuhkan pilihan di kedua sisi sungai Zambesi. Alasan yang mendasari pilihan David Livingstone adalah karena daerah ini memiliki penduduk yang lebih padat dan berada di luar jangkauan pedagang budak. David Livingstone juga melihat Sungai Zambesi sebagai sebuah alternatif dibukanya jalur perdagangan yang sah untuk menghalau pedagang budak dari daerah itu.

Surat, buku, dan jurnal-jurnal milik David Livingstone merangsang publik untuk menentang dan menghapus perbudakan. Salah satu bukunya yang terkenal diterbitkan pada tahun 1857 dan sampai saat ini masih dicetak ulang berjudul “Missionary Travels and Researches in South Africa”. Buku ini menceritakan pengalamannya dalam mengajarkan bahwa Allah itu kasih kepada bangsa kanibal di Afrika.

Tahun-tahun terakhir David Livingstone dilalui dengan penjelajahan ke daerah-daerah yang belum pernah dilaluinya antara Danau Malawi dan Tanganyika. David Livingstone kehilangan hubungan dengan dunia luar selama kurang lebih enam tahun. Hanya satu dari empat puluh empat suratnya yang sampai ke Zanzibar. Berbagai tim ekspedisi dikirim oleh pemerintah Inggris untuk menemukan David Livingstone. Henry Morton Stanley dan timnya yang dikirim oleh surat kabar The New York Herald, menemukan David Livingstone di sebuah kota yang bernama Ujiji pada 10 November 1871.

David Livingstone meninggal dunia di Chitambo pada 1 Mei 1873 karena menderita penyakit malaria dan pendarahan internal yang disebabkan oleh disentri. David Livingstone menghembuskan napas terakhirnya sambil berlutut di samping tempat tidur dalam posisi berdoa. Dua pembantu setianya yang bernama Susi dan Chuma mengubur jantung dan organ-organ tubuh bagian dalam David Livingstone di bawah pohon mvula. Jasadnya dibalsam dan dikeringkan di bawah sinar matahari untuk akhirnya dipulangkan ke Inggris. Perjalanan yang dibutuhkan untuk membawa jenazah David Livingstone kembali ke Inggris memakan waktu sembilan bulan. Setelah tiba di Inggris, jenasahnya disemayamkan di Westminster Abbey pada 18 April 1874.

“Saya akan memberitahu kalian apa yang menopang saya di tengah semua kerja keras dan penderitaan dan kesepian yang tak dapat saya gambarkan beratnya. Yang menopang saya adalah sebuah janji, janji seorang beradab yang paling terpuji dan sakral, ialah janji, `Ketahuilah, Aku akan menyertaimu senantiasa, sampai kepada akhir zaman.`” (Matius 28:20). (David Livingstone)

Bahan dirangkum dari:

As. Sinar Terang di Afrika (David Livingstone 1813-1873). Dalam http://www.cahayapengharapan.org/kesaksian_hidup/texts/sinar_terang_di_afrika.htm

Judas, Johannes. Pelayanan. Dalam http://www.glorianet.org/kolom/kolo_076.html

Stanley, Brian. 1995. David Livingstone Mahasiswa Kedokteran. Dalam http://misi.sabda.org/david_livingstone

______. David Livingstone. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/David_Livingstone

_____. David Livingstone`s Life. Dalam http://www.livingstoneonline.ucl.ac.uk/biog/dl/bio.html

_____. David Livingstone Scottish Missionary and Explorer to Africa. Dalam http://www.wholesomewords.org/missions/bliving4.html

WILLIAM CAREY

Taken from:
http://biokristi.sabda.org/william_carey

Seorang misionaris Baptis asal Inggris yang melayani di India, lahir di Inggris tahun 1761. Menjadi pendeta sebelum terjun ke ladang misi, selama 41 tahun ia aktif melayani Tuhan di India, termasuk menerjemahkan Alkitab.

“Seorang pembuat sepatu yang menjadi sarjana, ahli bahasa, dan misionaris melalui latihan yang Tuhan berikan.” William Carey adalah salah seorang kepercayaan Tuhan dalam sejarah penginjilan! Salah seorang penulis biografinya, F. Dealville Walker, menuliskan: “Dengan sedikit orang yang sezaman dengannya, ia hampir sendirian dalam berusaha untuk menaklukkan sikap acuh tak acuh dan permusuhan yang paling sering terjadi dalam usaha-usaha penginjilan; Carey menyusun rencana untuk kegiatan misi dan mencetak “Enquiry”, bukunya; dia memengaruhi orang-orang yang takut dan ragu-ragu dalam mengambil langkah untuk menginjili dunia.” Penulis biografi lain menulis, “Karena dia memberikan seluruh hidupnya, tidaklah berlebihan bila dia disebut sebagai misionaris Kristen yang terbesar dan mumpuni yang ada di zaman modern.”

Carey lahir di sebuah pondok kecil yang atapnya terbuat dari ilalang di Paulerspury, sebuah desa di Northamptonshire, Inggris, pada 17 Agustus 1761 dari keluarga penenun. Saat berusia delapan belas tahun, ia meninggalkan Gereja Inggris (Church of England) untuk “mengikut Kristus” dan “mengikut Dia serta meninggalkan segalanya dan menanggung derita-Nya”. Awalnya, ia bergabung dengan gereja Congregational di Hackleton di mana dia belajar dan bekerja membuat sepatu. Di sana pula ia menikah; pada tahun 1781. Di Hackleton, ia mulai berjalan sejauh lima mil ke Olney untuk lebih mendalami kebenaran iman. Olney merupakan benteng Particular Baptists, sebuah kelompok di mana Carey banyak menghabiskan waktunya setelah dibaptis pada 5 Oktober 1783. Dua tahun kemudian, dia pindah ke Moulton untuk menjadi kepala sekolah dan setahun kemudian menjadi pendeta Baptis jemaat kecil di sana.

Di Moultonlah Carey mendapat panggilan misi. Dalam kata-katanya sendiri, dia mengatakan, “Perhatianku pada misi pertama kali muncul setelah aku berada di Moulton, saat membaca buku `The Last Voyage of Captain Cook`.” Bagi banyak orang, Jurnal Cook adalah kisah petualangan yang mendebarkan, tetapi bagi Carey cerita itu justru menyingkapkan kebutuhan manusia! Kemudian, dia mulai membaca setiap buku yang berhubungan dengan masalah itu. (Hal ini bersamaan dengan pelajaran bahasa yang ditekuninya — saat berusia 21 tahun, Carey sudah menguasai bahasa Latin, Yunani, Ibrani dan Italia, dan sedang belajar bahasa Belanda dan Perancis. Ada seseorang yang menyebut pondok tempatnya membuat sepatu itu sebagai “Carey`s College”, karena saat membuat sepatu sambil berkhotbah, dia tidak pernah duduk di bangku tanpa ada beberapa buku di depannya.

Semakin banyak yang dia baca dan pelajari, dia semakin yakin bahwa “orang-orang di dunia ini memerlukan Kristus”. Dia membaca, mencatat, membuat bola dunia dari kulit, dan suatu hari, dalam ketenangan di bengkel sepatunya — tidak pada beberapa konferensi misi yang penuh antusias — Carey mendengar panggilan: “Bahwa sudah menjadi kewajiban semua orang untuk percaya kepada Injil …, maka menjadi tugas mereka yang percaya Injil untuk berusaha supaya Injil dikenal oleh semua bangsa.” Dan Carey dengan menangis menjawab, “Ini aku; utuslah aku!”

Berserah diri adalah satu hal, meraih sasaran adalah hal yang berbeda. Tidak ada masyarakat misi dan tidak ada minat yang sungguh-sungguh terhadap misi. Saat Carey mengemukakan masalah ini untuk didiskusikan di suatu pertemuan dengan para pelayan — “Tidak peduli apakah perintah yang diberikan kepada para rasul untuk mengajar semua bangsa adalah suatu keharusan pada pelayanan yang sukses sampai akhir zaman, janji penyertaan Tuhan pada perintah-Nya itu sama pentingnya dalam menentukan kesuksesan pelayanan.” — Dr. Ryland menyahut, “Anak muda, duduklah. Bila Allah berkenan untuk mempertobatkan penyembah berhala, Ia akan melakukannya tanpa bantuanmu ataupun bantuanku.” Lebih lanjut, Andrew Filler mengatakan perasaannya menyerupai pemimpin Israel yang tidak percaya kepada Tuhan, yang berkata, “Jika Allah mau membuat jendela di surga, kiranya terjadilah!”

Tetapi Carey pantang mundur. Dia kemudian berkata tentang pelayanannya, “Aku bisa bekerja keras!” Dan dia adalah seorang pria yang “selalu dengan teguh menekankan untuk tidak pernah menyerah pada sesuatu atau pada hal-hal kecil apa pun”. Ini telah dicamkan dalam pikirannya sampai ia mendapatkan pengetahuan yang jelas tentang apa yang ia pelajari.

Maka Carey menulis bukunya yang terkenal, “Enquiry Into the Obligations of the Christians to Use Means for the Conversion of the Heathen”. Dalam karya besarnya di bidang misi ini, Carey menjawab bantahan-bantahan, meneliti sejarah misi dari zaman apostolik, meneliti dunia secara keseluruhan, yaitu negara-negara, ukuran, jumlah penduduk dan agama, dan menggeluti penerapan praktis bagaimana menjangkau dunia untuk Kristus!

Kemudian dia memohon dan berjuang dengan susah payah. Namun, dia pantang menyerah. Dia berkhotbah — khususnya pada zamannya — dan dia berpesan, “Mengharapkan hal-hal besar dari Tuhan. Mengusahakan hal-hal besar untuk Tuhan.” Pesan yang dikhotbahkan di Nottingham pada 30 Mei 1792 dan pelayanan misi Carey yang lainnya menghasilkan Baptist Missionary Society (Masyarakat Misionaris Baptis), yang dibentuk pada musim gugur di Kettering pada 2 Oktober 1792. Pendaftaran dimulai, dan ironisnya, Carey tidak dapat menyumbangkan uang sedikit pun selain hasil dari keuntungan penjualan bukunya, The Enquiry.

Tahun 1793, Carey pergi ke India. Awalnya, istrinya menolak untuk ikut bersamanya sehingga mau tak mau Carey berangkat sendiri, namun setelah dua kali kembali dari galangan kapal untuk membujuk istrinya lagi, Dorothy dan anak-anaknya akhirnya mau menemaninya. Mereka bersama dengan Dr. Thomas sampai di ujung Hooghly di India pada November 1793. Mereka menjalani tahun-tahun keputusasaan (selama tujuh tahun tak ada satu pun orang India yang bertobat), hutang, penyakit, keadaan yang memperburuk pikiran istrinya, dan kematian. Namun atas anugerah Tuhan dan dengan kekuatan firman Tuhan, Carey tetap berjalan dan berjuang untuk Kristus!

Carey meninggal pada usia ke-73 (1834). Sebelumnya dia telah melihat Alkitab diterjemahkan dan dicetak dalam empat puluh bahasa, dia telah menjadi profesor di suatu sekolah tinggi, dan telah mendirikan sekolah tinggi di Serampore. Dia telah melihat India membuka pintunya untuk misi, dia telah melihat diberlakukannya larangan hukuman sati (membakar jendela pada saat upacara pembakaran mayat suami yang meninggal), dan dia telah melihat pertobatan untuk Kristus.

Di tempat tidur di mana dia meninggal, Carey berpesan kepada teman misinya, “Dr. Duff! Engkau telah berbicara tentang Dr. Carey; saat saya pergi, jangan katakan apa pun tentang Dr. Carey tapi katakan tentang Allah Dr. Carey.” Perintah itu merupakan simbol dari Carey, yang oleh banyak orang dianggap sebagai seorang “tokoh yang unik, melebihi orang-orang pada zamannya dan pendahulunya” dalam pelayanan misi. (t/Ratri)

Diterjemahkan dari:

Nama situs : Wholesomewords
Judul artikel : William Carey
Penulis : Tidak dicantumkan
Alamat URL : http://www.wholesomewords.org/missions/biocarey.html

VENGAL CHAKKARAI

Taken from:
http://biokristi.sabda.org/vengal_chakkarai

Vengal Chakkarai adalah salah seorang teolog yang cukup terkenal dari India. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang beragama Hindu. Oleh karena itu, ia memunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang agama Hindu.

Kemudian ia bertobat menjadi Kristen. Chakkarai tidak pernah menduduki suatu jabatan apa pun dalam gereja. Ia tetap sebagai seorang awam, tetapi memunyai pengetahuan yang luas dalam teologi, sama seperti Bapa Gereja Tertulianus di Afrika Utara. Sama seperti Tertulianus pula, Chakkarai adalah seorang ahli hukum. Untuk menambah pengetahuan teologinya, ia belajar di Christian College, Madras, di bawah bimbingan Dr. W. Miller.

Chakkarai meninggalkan bidang hukumnya dan bekerja sebagai redaktur sebuah majalah yang bernama “The Christian Patriot” (Pahlawan Kristen). Lewat majalah ini, ia menuangkan pandangan-pandangan teologianya. Tulisan-tulisannya kemudian dibukukan dan terbit dengan judul “Jesus the Avatar” (Yesus, Awatara), 1930 dan “The Cross and Indian Thought” (Salib dan Pikiran-Pikiran India), 1932.

Sama seperti Appasamy, Chakkarai memunyai semangat untuk meng-India-kan kekristenan. Ia berusaha untuk memikirkan kekristenan dalam konsep-konsep India. Ia yakin bahwa Allah telah berbicara dengan berbagai macam cara pada waktu yang berbeda-beda melalui nabi-nabinya, resi-resi kepada manusia. Allah telah menyatakan kehendak-Nya yang kudus kepada manusia di sini sedikit dan di sana sedikit. Allah tidak pernah membiarkan diri-Nya tanpa seorang saksi yang menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia. Di India terdapat suatu garis kesadaran nabiah sejak zaman Reg Weda hingga zaman Kabir, Nahak, Chaitanya, dan Keshub Chander Sen. Mereka itu diutus oleh Allah kepada orang India untuk menyatakan kehendak Allah.

Selanjutnya Chakkarai menarik kesimpulan bahwa agama Hindu merupakan bentuk latar belakang bagi agama Kristen di India. Jikalau bagi orang Israel, Yudaisme (Perjanjian Lama) merupakan latar belakang untuk agama Kristen, maka demikianlah juga agama Hindu bagi orang India. Dengan demikian, Perjanjian Lama tidak memunyai arti bagi orang Kristen India. Bagi orang Kristen India, kedudukan Perjanjian Lama diganti oleh agama Hindu. Jika kita mau mengerti dengan tepat akan Yesus Kristus, haruslah menjelaskannya melalui agama Hindu dan Perjanjian Baru saja. Agama Kristen dipandangnya sebagai pemenuhan dari agama Hindu. Agama Hindu dipandang sebagai suatu “preparatio evangelica”.

Kemudian Chakkarai mengutarakan pendapatnya bahwa sekalipun agama Kristen merupakan pemenuhan agama Hindu, namun tidaklah berarti bahwa agama Hindu kurang sempurna, rendah, dan palsu. Agama Hindu sendiri dapat menjawab permasalahan-permasalahan orang India dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang India. Jikalau demikian, apa sebabnya Injil diberitakan lagi kepada orang Hindu? Jawaban Chakkarai ialah, kita memberitakan Injil dan menobatkan orang Hindu kepada agama Kristen bukan karena agama Hindu itu kurang sempurna atau palsu, tetapi karena Kristus yang ada di dalam agama Kristen. Orang Hindu yang beralih kepada agama Kristen bukanlah beralih dari agama palsu kepada agama yang benar. Orang Hindu menjadi Kristen karena Allah memilih mereka dan panggilan Allah kepada mereka didengar dan ditaati. Dengan demikian bagi Chakkarai, agama Hindu tetap berlaku sebagai agama yang benar.

Dalam bukunya, “Jesus the Avatar” (Yesus, Awatar), Chakkarai menguraikan pandangannya mengenai oknum Yesus Kristus. Menurutnya Yesus Kristus adalah satu-satunya Awatara yang benar dan hanya Dia. Yesus sungguh-sungguh seorang manusia, tetapi manusia yang unik. Keunikan-Nya terletak pada kehidupan doa-Nya dan ketidakberdosaan-Nya. Kehidupan doa-Nya melebihi nabi-nabi dan resi-resi serta para yogi di India.

Namun, Yesus Kristus juga adalah sungguh-sungguh Allah. Keilahian Yesus memiliki keunikannya pula, yaitu terletak pada kebangkitan-Nya dari antara orang mati dan berdiamnya Yesus Kristus yang bangkit itu dalam hati orang percaya.

Teologi Chakkarai bersifat kristosentris. Kristus adalah suatu perkara yang sangat hakiki dalam kekristenan. Agama Kristen tidak bisa dipikirkan tanpa Kristus.

Dalam bukunya, “The Cross and India Thought”, Chakkarai menguraikan tentang arti salib dalam penebusan dosa. Di bawah bayangan salib, dosa manusia makin kelam dan bahkan dosa makin nampak lebih mengerikan. Perenungan akan salib akan menghasilkan perasaan penyesalan yang dalam dan menyebabkan mengalirnya air mata pertobatan. Untuk mengungkapkan arti dosa, Chakkarai memakai kata “maya” dan “sat asat”.

Chakkarai memiliki sikap yang sangat positif terhadap agama Hindu sehingga daya kritisnya hilang. Perlu dicamkan dengan sungguh-sungguh bahwa Yesus Kristus hanya dapat dimengerti secara tepat dengan tidak membuang Perjanjian Lama. Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan Mesias, yaitu Yesus Kristus. Perjanjian Baru hanya dapat dipahami secara tepat dengan memakai Perjanjian Lama.

Diambil dan diedit seperlunya dari:

Judul buku : Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja
Judul asli artikel : Chakkarai, Vengal
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999
Halaman : 75 — 77