Tag Archives: Injil

WILLIAM CAREY

Taken from:
http://biokristi.sabda.org/william_carey

Seorang misionaris Baptis asal Inggris yang melayani di India, lahir di Inggris tahun 1761. Menjadi pendeta sebelum terjun ke ladang misi, selama 41 tahun ia aktif melayani Tuhan di India, termasuk menerjemahkan Alkitab.

“Seorang pembuat sepatu yang menjadi sarjana, ahli bahasa, dan misionaris melalui latihan yang Tuhan berikan.” William Carey adalah salah seorang kepercayaan Tuhan dalam sejarah penginjilan! Salah seorang penulis biografinya, F. Dealville Walker, menuliskan: “Dengan sedikit orang yang sezaman dengannya, ia hampir sendirian dalam berusaha untuk menaklukkan sikap acuh tak acuh dan permusuhan yang paling sering terjadi dalam usaha-usaha penginjilan; Carey menyusun rencana untuk kegiatan misi dan mencetak “Enquiry”, bukunya; dia memengaruhi orang-orang yang takut dan ragu-ragu dalam mengambil langkah untuk menginjili dunia.” Penulis biografi lain menulis, “Karena dia memberikan seluruh hidupnya, tidaklah berlebihan bila dia disebut sebagai misionaris Kristen yang terbesar dan mumpuni yang ada di zaman modern.”

Carey lahir di sebuah pondok kecil yang atapnya terbuat dari ilalang di Paulerspury, sebuah desa di Northamptonshire, Inggris, pada 17 Agustus 1761 dari keluarga penenun. Saat berusia delapan belas tahun, ia meninggalkan Gereja Inggris (Church of England) untuk “mengikut Kristus” dan “mengikut Dia serta meninggalkan segalanya dan menanggung derita-Nya”. Awalnya, ia bergabung dengan gereja Congregational di Hackleton di mana dia belajar dan bekerja membuat sepatu. Di sana pula ia menikah; pada tahun 1781. Di Hackleton, ia mulai berjalan sejauh lima mil ke Olney untuk lebih mendalami kebenaran iman. Olney merupakan benteng Particular Baptists, sebuah kelompok di mana Carey banyak menghabiskan waktunya setelah dibaptis pada 5 Oktober 1783. Dua tahun kemudian, dia pindah ke Moulton untuk menjadi kepala sekolah dan setahun kemudian menjadi pendeta Baptis jemaat kecil di sana.

Di Moultonlah Carey mendapat panggilan misi. Dalam kata-katanya sendiri, dia mengatakan, “Perhatianku pada misi pertama kali muncul setelah aku berada di Moulton, saat membaca buku `The Last Voyage of Captain Cook`.” Bagi banyak orang, Jurnal Cook adalah kisah petualangan yang mendebarkan, tetapi bagi Carey cerita itu justru menyingkapkan kebutuhan manusia! Kemudian, dia mulai membaca setiap buku yang berhubungan dengan masalah itu. (Hal ini bersamaan dengan pelajaran bahasa yang ditekuninya — saat berusia 21 tahun, Carey sudah menguasai bahasa Latin, Yunani, Ibrani dan Italia, dan sedang belajar bahasa Belanda dan Perancis. Ada seseorang yang menyebut pondok tempatnya membuat sepatu itu sebagai “Carey`s College”, karena saat membuat sepatu sambil berkhotbah, dia tidak pernah duduk di bangku tanpa ada beberapa buku di depannya.

Semakin banyak yang dia baca dan pelajari, dia semakin yakin bahwa “orang-orang di dunia ini memerlukan Kristus”. Dia membaca, mencatat, membuat bola dunia dari kulit, dan suatu hari, dalam ketenangan di bengkel sepatunya — tidak pada beberapa konferensi misi yang penuh antusias — Carey mendengar panggilan: “Bahwa sudah menjadi kewajiban semua orang untuk percaya kepada Injil …, maka menjadi tugas mereka yang percaya Injil untuk berusaha supaya Injil dikenal oleh semua bangsa.” Dan Carey dengan menangis menjawab, “Ini aku; utuslah aku!”

Berserah diri adalah satu hal, meraih sasaran adalah hal yang berbeda. Tidak ada masyarakat misi dan tidak ada minat yang sungguh-sungguh terhadap misi. Saat Carey mengemukakan masalah ini untuk didiskusikan di suatu pertemuan dengan para pelayan — “Tidak peduli apakah perintah yang diberikan kepada para rasul untuk mengajar semua bangsa adalah suatu keharusan pada pelayanan yang sukses sampai akhir zaman, janji penyertaan Tuhan pada perintah-Nya itu sama pentingnya dalam menentukan kesuksesan pelayanan.” — Dr. Ryland menyahut, “Anak muda, duduklah. Bila Allah berkenan untuk mempertobatkan penyembah berhala, Ia akan melakukannya tanpa bantuanmu ataupun bantuanku.” Lebih lanjut, Andrew Filler mengatakan perasaannya menyerupai pemimpin Israel yang tidak percaya kepada Tuhan, yang berkata, “Jika Allah mau membuat jendela di surga, kiranya terjadilah!”

Tetapi Carey pantang mundur. Dia kemudian berkata tentang pelayanannya, “Aku bisa bekerja keras!” Dan dia adalah seorang pria yang “selalu dengan teguh menekankan untuk tidak pernah menyerah pada sesuatu atau pada hal-hal kecil apa pun”. Ini telah dicamkan dalam pikirannya sampai ia mendapatkan pengetahuan yang jelas tentang apa yang ia pelajari.

Maka Carey menulis bukunya yang terkenal, “Enquiry Into the Obligations of the Christians to Use Means for the Conversion of the Heathen”. Dalam karya besarnya di bidang misi ini, Carey menjawab bantahan-bantahan, meneliti sejarah misi dari zaman apostolik, meneliti dunia secara keseluruhan, yaitu negara-negara, ukuran, jumlah penduduk dan agama, dan menggeluti penerapan praktis bagaimana menjangkau dunia untuk Kristus!

Kemudian dia memohon dan berjuang dengan susah payah. Namun, dia pantang menyerah. Dia berkhotbah — khususnya pada zamannya — dan dia berpesan, “Mengharapkan hal-hal besar dari Tuhan. Mengusahakan hal-hal besar untuk Tuhan.” Pesan yang dikhotbahkan di Nottingham pada 30 Mei 1792 dan pelayanan misi Carey yang lainnya menghasilkan Baptist Missionary Society (Masyarakat Misionaris Baptis), yang dibentuk pada musim gugur di Kettering pada 2 Oktober 1792. Pendaftaran dimulai, dan ironisnya, Carey tidak dapat menyumbangkan uang sedikit pun selain hasil dari keuntungan penjualan bukunya, The Enquiry.

Tahun 1793, Carey pergi ke India. Awalnya, istrinya menolak untuk ikut bersamanya sehingga mau tak mau Carey berangkat sendiri, namun setelah dua kali kembali dari galangan kapal untuk membujuk istrinya lagi, Dorothy dan anak-anaknya akhirnya mau menemaninya. Mereka bersama dengan Dr. Thomas sampai di ujung Hooghly di India pada November 1793. Mereka menjalani tahun-tahun keputusasaan (selama tujuh tahun tak ada satu pun orang India yang bertobat), hutang, penyakit, keadaan yang memperburuk pikiran istrinya, dan kematian. Namun atas anugerah Tuhan dan dengan kekuatan firman Tuhan, Carey tetap berjalan dan berjuang untuk Kristus!

Carey meninggal pada usia ke-73 (1834). Sebelumnya dia telah melihat Alkitab diterjemahkan dan dicetak dalam empat puluh bahasa, dia telah menjadi profesor di suatu sekolah tinggi, dan telah mendirikan sekolah tinggi di Serampore. Dia telah melihat India membuka pintunya untuk misi, dia telah melihat diberlakukannya larangan hukuman sati (membakar jendela pada saat upacara pembakaran mayat suami yang meninggal), dan dia telah melihat pertobatan untuk Kristus.

Di tempat tidur di mana dia meninggal, Carey berpesan kepada teman misinya, “Dr. Duff! Engkau telah berbicara tentang Dr. Carey; saat saya pergi, jangan katakan apa pun tentang Dr. Carey tapi katakan tentang Allah Dr. Carey.” Perintah itu merupakan simbol dari Carey, yang oleh banyak orang dianggap sebagai seorang “tokoh yang unik, melebihi orang-orang pada zamannya dan pendahulunya” dalam pelayanan misi. (t/Ratri)

Diterjemahkan dari:

Nama situs : Wholesomewords
Judul artikel : William Carey
Penulis : Tidak dicantumkan
Alamat URL : http://www.wholesomewords.org/missions/biocarey.html

VENGAL CHAKKARAI

Taken from:
http://biokristi.sabda.org/vengal_chakkarai

Vengal Chakkarai adalah salah seorang teolog yang cukup terkenal dari India. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang beragama Hindu. Oleh karena itu, ia memunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang agama Hindu.

Kemudian ia bertobat menjadi Kristen. Chakkarai tidak pernah menduduki suatu jabatan apa pun dalam gereja. Ia tetap sebagai seorang awam, tetapi memunyai pengetahuan yang luas dalam teologi, sama seperti Bapa Gereja Tertulianus di Afrika Utara. Sama seperti Tertulianus pula, Chakkarai adalah seorang ahli hukum. Untuk menambah pengetahuan teologinya, ia belajar di Christian College, Madras, di bawah bimbingan Dr. W. Miller.

Chakkarai meninggalkan bidang hukumnya dan bekerja sebagai redaktur sebuah majalah yang bernama “The Christian Patriot” (Pahlawan Kristen). Lewat majalah ini, ia menuangkan pandangan-pandangan teologianya. Tulisan-tulisannya kemudian dibukukan dan terbit dengan judul “Jesus the Avatar” (Yesus, Awatara), 1930 dan “The Cross and Indian Thought” (Salib dan Pikiran-Pikiran India), 1932.

Sama seperti Appasamy, Chakkarai memunyai semangat untuk meng-India-kan kekristenan. Ia berusaha untuk memikirkan kekristenan dalam konsep-konsep India. Ia yakin bahwa Allah telah berbicara dengan berbagai macam cara pada waktu yang berbeda-beda melalui nabi-nabinya, resi-resi kepada manusia. Allah telah menyatakan kehendak-Nya yang kudus kepada manusia di sini sedikit dan di sana sedikit. Allah tidak pernah membiarkan diri-Nya tanpa seorang saksi yang menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia. Di India terdapat suatu garis kesadaran nabiah sejak zaman Reg Weda hingga zaman Kabir, Nahak, Chaitanya, dan Keshub Chander Sen. Mereka itu diutus oleh Allah kepada orang India untuk menyatakan kehendak Allah.

Selanjutnya Chakkarai menarik kesimpulan bahwa agama Hindu merupakan bentuk latar belakang bagi agama Kristen di India. Jikalau bagi orang Israel, Yudaisme (Perjanjian Lama) merupakan latar belakang untuk agama Kristen, maka demikianlah juga agama Hindu bagi orang India. Dengan demikian, Perjanjian Lama tidak memunyai arti bagi orang Kristen India. Bagi orang Kristen India, kedudukan Perjanjian Lama diganti oleh agama Hindu. Jika kita mau mengerti dengan tepat akan Yesus Kristus, haruslah menjelaskannya melalui agama Hindu dan Perjanjian Baru saja. Agama Kristen dipandangnya sebagai pemenuhan dari agama Hindu. Agama Hindu dipandang sebagai suatu “preparatio evangelica”.

Kemudian Chakkarai mengutarakan pendapatnya bahwa sekalipun agama Kristen merupakan pemenuhan agama Hindu, namun tidaklah berarti bahwa agama Hindu kurang sempurna, rendah, dan palsu. Agama Hindu sendiri dapat menjawab permasalahan-permasalahan orang India dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang India. Jikalau demikian, apa sebabnya Injil diberitakan lagi kepada orang Hindu? Jawaban Chakkarai ialah, kita memberitakan Injil dan menobatkan orang Hindu kepada agama Kristen bukan karena agama Hindu itu kurang sempurna atau palsu, tetapi karena Kristus yang ada di dalam agama Kristen. Orang Hindu yang beralih kepada agama Kristen bukanlah beralih dari agama palsu kepada agama yang benar. Orang Hindu menjadi Kristen karena Allah memilih mereka dan panggilan Allah kepada mereka didengar dan ditaati. Dengan demikian bagi Chakkarai, agama Hindu tetap berlaku sebagai agama yang benar.

Dalam bukunya, “Jesus the Avatar” (Yesus, Awatar), Chakkarai menguraikan pandangannya mengenai oknum Yesus Kristus. Menurutnya Yesus Kristus adalah satu-satunya Awatara yang benar dan hanya Dia. Yesus sungguh-sungguh seorang manusia, tetapi manusia yang unik. Keunikan-Nya terletak pada kehidupan doa-Nya dan ketidakberdosaan-Nya. Kehidupan doa-Nya melebihi nabi-nabi dan resi-resi serta para yogi di India.

Namun, Yesus Kristus juga adalah sungguh-sungguh Allah. Keilahian Yesus memiliki keunikannya pula, yaitu terletak pada kebangkitan-Nya dari antara orang mati dan berdiamnya Yesus Kristus yang bangkit itu dalam hati orang percaya.

Teologi Chakkarai bersifat kristosentris. Kristus adalah suatu perkara yang sangat hakiki dalam kekristenan. Agama Kristen tidak bisa dipikirkan tanpa Kristus.

Dalam bukunya, “The Cross and India Thought”, Chakkarai menguraikan tentang arti salib dalam penebusan dosa. Di bawah bayangan salib, dosa manusia makin kelam dan bahkan dosa makin nampak lebih mengerikan. Perenungan akan salib akan menghasilkan perasaan penyesalan yang dalam dan menyebabkan mengalirnya air mata pertobatan. Untuk mengungkapkan arti dosa, Chakkarai memakai kata “maya” dan “sat asat”.

Chakkarai memiliki sikap yang sangat positif terhadap agama Hindu sehingga daya kritisnya hilang. Perlu dicamkan dengan sungguh-sungguh bahwa Yesus Kristus hanya dapat dimengerti secara tepat dengan tidak membuang Perjanjian Lama. Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan Mesias, yaitu Yesus Kristus. Perjanjian Baru hanya dapat dipahami secara tepat dengan memakai Perjanjian Lama.

Diambil dan diedit seperlunya dari:

Judul buku : Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja
Judul asli artikel : Chakkarai, Vengal
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999
Halaman : 75 — 77

Athanasius (296 — 373)

Athanasius lahir pada akhir abad ke-3. Ia bergabung pada rumah tangga Aleksander, uskup Aleksandria, dan selang beberapa waktu menjadi diaken. Ia ikut uskup Aleksander ke Konsili Nicea. Ketika Aleksander meninggal pada tahun 328, Athanasius menggantikannya sebagai uskup Aleksandria. Ia memangku jabatan ini selama 45 tahun dan meninggal pada tahun 373.

Hampir seluruh hidup Athanasius diabdikan untuk melawan Arianisme. Arius telah dikutuk di Nicea, tetapi Pengakuan Iman Nicea tidak dapat diterima oleh bagian terbesar dari kelompok Origenes di Timur. Kaisar menginginkan persatuan di atas segala yang lain. Jadi, ia menganjurkan sikap toleransi lebih besar tentang ortodoksi sehingga Arius dapat diajak kembali ke dalam persekutuan gereja setelah mendapat hukuman seperlunya. Athanasius menolak sikap ini. Ia melihat keallahan Yesus Kristus sebagai dasar seluruh iman Kristen. Arianisme akan mengakibatkan tamatnya agama Kristen. Athanasius memerangi Arianisme dengan senjata apa pun yang jatuh ke tangannya, termasuk politik gerejawi. Sikapnya yang tidak main kompromi membuatnya tidak disenangi baik di antara uskup maupun negarawan. Dari 45 tahun sebagai uskup, 17 tahun di antaranya dihabiskan di lima tempat pengasingan yang berlainan. Masa pengasingan yang paling penting adalah waktu ia di Roma dari tahun 340 sampai 346. Ini adalah saat untuk saling memengaruhi antara Athanasius dan tuan rumah. Sesudah Roma, ia mengalami “Dasawarsa Emas”, dari tahun 346 hingga 356 di Aleksandria, masa terpanjang sebagai uskup tanpa interupsi.

Athanasius tetap tegar dalam pendiriannya, walaupun mereka di sekitarnya mulai melemah. Biarpun demikian, ia tahu saatnya bersikap fleksibel. Kelompok anti-Arianisme (Gereja Barat, kelompok Antiokhia dan Athanasius) berpendapat bahwa Allah adalah satu hypostasis atau pribadi, sedangkan bagian terbesar kelompok Origenis di bagian Timur berpendapat bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi. Pada Konsili Aleksandria tahun 362 (diadakan dalam waktu singkat antara dua masa pengasingannya), diakui bahwa kedua rumusan dapat diinterpretasikan secara ortodoks. Yang terpenting adalah apa yang dipercaya, pengalimatannya kurang penting. Pengakuan ini melicinkan jalan kepada kombinasi pandangan homoousios Nicea (Anak Allah adalah sehakikat dengan Sang Bapa) dan pernyataan Origenes bahwa Allah adalah tiga hypostasis. Versi kombinasi ini disebarkan oleh Bapa-bapa Kapadokia dan diterima sebagai ortodoks yang tetap pada Konsili Konstantinopel tahun 381.

Athanasius adalah seorang penulis yang produktif, yang membahas berbagai soal.

  • Karya-karya anti-Arianisme. Kebanyakan karya Athanasius membahas perjuangan melawan Arianisme. Ia memanfaatkan waktu luangnya di pengasingan. Yang paling dikenal adalah karyanya yang terpanjang, 3 Orationes Contra Arianos (Pidato-pidato Melawan Kaum Arian).
  • Karya-karya apologia. Athanasius menulis apologia dalam dua bagian: Oratio Contra Gentes (Melawan Orang Kafir) dan De Incarnatione Verbi (Inkarnasi Firman). Menurut tradisi, karya ini dianggap ditulis pada tahun 318, yaitu sebelum kontroversi Arianisme. Namun, bukti-bukti agaknya lebih condong pada suatu tanggal selama pengasingan pertamanya antara tahun 335 dan 337.
  • Surat-surat Paskah. Setiap tahun Athanasius menulis surat kepada gereja-gereja di Mesir, yang nantinya dibaca pada hari Paskah. Suratnya yang ke-367 itu penting karena di dalamnya untuk pertama kali dimuat kanon (daftar kitab-kitab) Perjanjian Baru, tepat seperti yang kita kenal sekarang. Ini merupakan hasil dari masa saling mempengaruhi waktu Athanasius di Roma.
  • Vita S. Antonii (Riwayat Hidup Antonius), yang oleh Athanasius digambarkan sebagai rahib pertama. Pada abad ke-2 dan ke-3 ada orang yang hidup sebagai pertapa — tidak menikah, hidup dalam kemiskinan dan mengabdikan diri dengan berdoa dan berpuasa. Mereka tetap hidup di antara jemaat biasa dan disebut “pertapa dalam rumah” karena mereka menjalankan hidup mereka sebagai pertapa di rumah dan di dalam masyarakat. Namun pada abad ke-4, tingkat moral jemaat semakin menurun karena bertambah banyaknya jumlah orang kafir yang bertobat dan sifat pertobatan mereka dangkal dan kurang serius. Karena itu, orang pertapa mulai mengundurkan diri dari masyarakat. Mereka pergi hidup di gurun-gurun Mesir dan Siria. Seperti ditulis Athanasius, “Sel-sel muncul sampai di pegunungan dan gurun-gurun dikolonisasi oleh para rahib. Mereka datang keluar dari bangsa mereka untuk mendaftarkan diri sebagai warga surga.” Di antara rahib-rahib ini ada yang hidup menyendiri (seperti Antonius) di tempat terpencil, ada yang hidup berkelompok. Ada lagi yang memilih hidup semacam kombinasi dari kedua cara hidup tersebut tadi. Karya Athanasius membantu menyebarkan cita-cita hidup kebiaraan, khususnya di dunia Barat. Ia mempunyai peranan penting dalam pertobatan Augustinus.

Athanasius berjuang begitu keras untuk pengakuan keallahan Yesus Kristus karena ia melihat bahwa keselamatan kita bergantung pada-Nya. Hanya Yesus Kristus yang ilahi, yang dapat menyelamatkan kita. Tema ini dibahas dalam buku De Incarnatione Verbi. Athanasius dihadapkan pada tuduhan-tuduhan dari pihak Yahudi dan kafir, bahwa inkarnasi dan penyaliban Anak Allah tidak pantas dan mengurangi martabat-Nya. Athanasius menjawab bahwa inkarnasi dan salib justru pantas, tepat, dan sangat wajar. Sebab dunia yang diciptakan melalui Dia hanya dapat dipulihkan oleh Dia. Pemulihan ini tidak bisa terjadi, kecuali melalui salib.

Kitalah yang menyebabkan Ia menjadi daging. Ia mengasihi kita sedemikian rupa untuk keselamatan kita, Ia lahir sebagai manusia …. Hanya Sang Penebus sendiri, yang pada permulaan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada, dapat mengembalikan yang bejat menjadi tidak binasa; tidak ada yang dapat menciptakan kembali orang-orang dalam rupa Allah, kecuali rupa Allah itu sendiri. Tidak lain Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Hidup itu sendiri, yang dapat membuat yang fana menjadi kekal. Tidak satu kecuali firman, yang memerintah segala sesuatu dan yang adalah Anak yang sejati dan tunggal dari Sang Bapa, yang dapat mengajar manusia tentang Sang Bapa dan membinasakan pemujaan berhala. Karena utang yang harus dibayar manusia (karena semua orang harus mati), Ia datang di antara kita. Setelah Ia membuktikan keallahan-Nya melalui karya-Nya, Ia mempersembahkan kurban-Nya demi kita dan menyerahkan bait-Nya (tubuh-Nya) kepada maut menggantikan umat manusia. Ia melakukannya untuk membebaskan manusia dari utang dosa pertama dan untuk membuktikan bahwa Ia lebih berkuasa daripada maut. Ia menunjukkan bahwa tubuh-Nya tidak dapat binasa, sebagai buah sulung kebangkitan semua orang …. Dua mujizat terjadi sekaligus: kematian seluruh umat manusia terlaksana dalam tubuh Tuhan, dan maut serta kebejatan dimusnahkan karena firman yang telah menjadi satu dengan-Nya …. Melalui kematian, kekekalan menjangkau seluruh umat manusia. Karena Firman telah menjadi manusia, maka pemeliharaan kesemestaan bersama pencipta serta pemimpin-Nya, yaitu firman Allah itu sendiri telah diperkenalkan. Ia telah menjadi manusia, agar kita menjadi ilahi; Ia menyatakan diri dalam rupa manusia, agar kita dapat mengerti Sang Bapa yang tak kelihatan itu; Ia menanggung penghinaan orang, agar kita dapat mewarisi hidup yang kekal (De lncarnatione Verbi/Inkarnasi Firman 4, 20, 54).

Gagasan “deifikasi” atau “pendewaan” (menjadi ilahi) menunjukkan pengaruh Yunani dalam pemikiran Athanasius. Pengaruh ini sangat nyata dalam karya apologia, dalam dua bagian, yang bersifat pembelaan itu. Adam, sebelum jatuh dalam dosa, digambarkan sebagai filsuf Yunani — ia merenungkan firman, yang adalah rupa Allah. Jiwanya tidak ada hubungan dengan tubuhnya. Jiwanya mengatasi semua keinginan serta perasaan jasmani dan merenungkan “kenyataan akali”. Tetapi Adam berbalik dari kenyataan akali dan mulai memikirkan tubuhnya serta perasaan-perasaannya dan dengan demikian menjadi mangsa keinginan-keinginan jasmani. Pandangan mengenai kejatuhan manusia ini lebih banyak diambil dari filsafat Yunani dan Origenes daripada dari Alkitab.

Athanasius menggunakan berbagai argumen melawan Arianisme. Argumentasinya terutama didasari pada Alkitab. Ia mengemukakan sejumlah argumen dari Alkitab untuk membuktikan ketuhanan Yesus Kristus. Ia juga menjawab argumen pengikut-pengikut Arius yang diambil dari Alkitab untuk membuktikan bahwa Anak Allah adalah lebih rendah dari Sang Bapa. Athanasius menjawab bahwa bagian Alkitab itu menunjuk pada status Yesus sebagai manusia, bukan pada status kekal-Nya sebagai Allah. Kedua, Athanasius menunjuk ibadah Kristen pada Yesus Kristus baik pada zaman Perjanjian Baru, maupun pada zaman mereka sendiri. Ibadah ini harus diberi arti pemujaan berhala, kalau Yesus hanya suatu makhluk. Ketiga, Athanasius mengemukakan bahwa hanya Allah mampu menyelamatkan kita — argumen ini dipakainya dalam karyanya “De Incarnatione Verbi”. Dan terakhir, ia memakai argumen-argumen filsafat — misalnya, bahwa Allah tidak pernah bertindak tidak rasional tanpa Akal atau firman-Nya.

Sekiranya Ia [Firman] hanya makhluk, orang tidak akan beribadah kepada-Nya dan Ia tidak pula dibicarakan [dalam Alkitab]. Tetapi kenyataannya adalah bahwa Ia adalah turunan sejati dari hakikat Allah yang disembah. Ia adalah Anak Allah menurut tabiat-Nya dan bukan makhluk. Oleh sebab itu, Ia disembah dan diyakini sebagai Allah. Sinar matahari benar bagian dari matahari, toh hakikat matahari tidak terbagi atau dikurangi oleh karenanya. Hakikat matahari adalah lengkap dan sinarnya sempurna dan lengkap. Sinar-sinar itu tidak mengurangi hakikat terang, namun adalah turunannya yang sejati. Demikian pula kita ketahui bahwa Anak diperanakkan bukan di luar Sang Bapa, tetapi dari Allah Bapa sendiri. Allah Bapa tetap lengkap, sedangkan “gambar wujud-Nya” [Ibr. 1:3] adalah kekal serta menjaga persamaan-Nya dengan Allah Bapa dan rupa-Nya yang tak berubah. (3 Orationes Contra Arianos/Pidato-pidato Melawan Kaum Arian 2:24, 33)

Athanasius juga yang pertama-tama secara serius mempelajari status Roh Kudus. Hingga pertengahan abad ke-4 perhatian tertuju pada hubungan Allah, Bapa, dan Anak. Sebutan singkat “Dan kepada Roh Kudus” dalam Pengakuan Iman Nicea adalah bukti betapa sedikit perhatian yang diberikan kepada Roh Kudus. Namun, pada tahun 359/360 Athanasius terpaksa memerhatikan soal ini. Suatu kelompok di Mesir, yang kurang jelas asal mulanya dan disebut Tropici, mengajarkan bahwa Sang Anak adalah Allah, tetapi Roh Kudus diciptakan dari yang tidak ada. Dalam hal Anak, mereka bertolak dari Pengakuan Iman Nicea, sedangkan dalam hal Roh Kudus mereka mengikuti Arianisme. Mereka berselisih dengan uskup mereka, Serapion, yang minta nasihat kepada Athanasius. Athanasius menjawab dalam sejumlah Letters to Serapion (surat-surat kepada Serapion), yang di dalamnya untuk pertama kali dibahas teologi yang sungguh-sungguh memerhatikan Ketritunggalan. Di sana ia merinci baik status Roh Kudus maupun Anak Allah. Ia menjelaskan ketuhanan Roh Kudus, yang bukan Anak Allah tetapi “keluar dari Bapa” (Yoh. 15:26).

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul : Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani
Penulis : Tony Lane
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003
Halaman : 26 — 29
Situs penerbit : http://www.bpkgm.com/

Aurelius Augustinus (354 — 430)

Ia merupakan seorang bapa gereja yang pandangan-pandangan teologianya sangat berpengaruh dalam Gereja Barat. Dilahirkan di Tagaste, Afrika Utara, tidak jauh dari Hippo Regius pada 13 Nopember 354. Ayahnya bernama Patricius, seorang kafir dan ibunya bernama Monica, seorang ibu yang saleh dan yang penuh kasih. Augustinus lama menjadi anggota katekumen, namun tidak bersedia untuk segera menerima sakramen baptisan. Ia memulai pendidikannya di kota kelahirannya, Tagaste, kemudian belajar retorika dan filsafat di Kartago, ibukota provinsi Afrika Utara. Setelah belajar di Kartago, Augustinus kembali ke kota kelahirannya dan di sana ia menjadi guru retorika. Pada tahun 372 ia pindah ke Kartago dan menjadi guru retorika di sana.

Augustinus mengalami pergumulan yang hebat, yaitu keinginannya untuk mencari kebenaran yang sejati yang memberikan kepadanya suatu kedamaian hidup. Seluruh perjuangannya dalam mencari kebenaran tersebut diuraikannya dalam bukunya yang berjudul Confessiones (Pengakuan-Pengakuan). Kira-kira tahun 373 ia membaca buku Hortensius, karangan Cicero, yang membawanya menjadi seorang pengikut Platonisme. Namun, Platonisme tidak memberikan kepadanya kedamaian sehingga ia berpindah lagi menjadi pengikut Manikheisme. Sementara itu, Augustinus memelihara seorang wanita dan dari wanita ini lahir seorang anak laki-laki yang diberinya nama, Adeodatus. Hubungannya dengan wanita ini berlangsung selama lima belas tahun lamanya.

Ibunya, Monica, sangat sedih karena kelakuan anaknya itu. Ia senantiasa berdoa dengan bercucuran air mata agar anaknya ini bertobat dari jalan yang sesat itu. Monica berkali-kali mengunjungi uskupnya untuk meminta nasihatnya. Sang uskup menghibur Monica dengan kata-kata, “Anak yang didoakan dengan banyak air mata, mustahil ia binasa.”

Tahun 382, Augustinus berangkat ke Roma. Di sini ia membuka sekolah retorika, namun sekolahnya itu dipindahkan ke Milano. Di Milano ia meninggalkan Manikheisme dan berpindah sebagai seorang pengikut Neo-Platonisme. Kemudian ibunya juga datang ke Milano.

Augustinus sama sekali tidak tertarik kepada Alkitab. la menganggap bahasa yang dipergunakan oleh Alkitab sangat kasar dan rendah mutunya. Banyak hal-hal yang tidak masuk akal dan aneh.

Di Milano terdapat seorang uskup yang sangat cakap dalam berkhotbah dengan mempergunakan bahasa yang menarik hati. Uskup itu adalah Ambrosius. Augustinus ingin berkenalan dengan sang uskup dan sering masuk gereja untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya. Dari khotbah-khotbah Ambrosius, Augustinus kini melihat keindahan dalam Kitab Suci. Ia kini menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan hatinya.

Pada tahun 386 Augustinus sedang duduk dalam taman di rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara anak kecil yang sedang bermain di taman mengatakan, “Ambillah dan bacalah!” Suara hatinya mengatakan bahwa yang disuruh ambil dan baca tidak lain daripada Alkitab. Ia mengambil dan membukanya. Augustinus membaca Roma 13:13-14, “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” Augustinus yakin bahwa itulah suara Roh Kudus sehingga ia mengalami pertobatan. Menjelang Augustinus dibaptis, pada hari Minggu Paskah 387 di Milano, ia bersama ibunya, Adeodatus, dengan beberapa sahabatnya bersemedi di Cassaciacum, dekat Milano. Ibunya sangat bergembira dengan pertobatan anaknya itu. Maka Augustinus pun dibaptis oleh Uskup Ambrosius bersama-sama dengan anaknya, Adeodatus, dan beserta dengan sahabatnya, Alypius, dan Evodius.

Sesudah pertobatan dan baptisannya, Augustinus memutuskan hubungannya dengan dunia. Harta miliknya dijualnya dan dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Ia ingin melayani Kristus sampai dengan ajalnya.

Kemudian Augustinus bersama-sama anak dan ibunya bersiap-siap untuk kembali ke Afrika. Sayang ibunya meninggal dunia di kota pelabuhan Ostia sementara menunggu kapal yang akan membawa mereka ke negerinya. Augustinus menguburkan ibu kekasihnya di Ostia sesuai dengan permintaan Monica menjelang kematiannya, sebagai berikut. “Kuburkanlah aku di mana saja dan janganlah dirimu susah karenanya; hanya satu perkara aku mohon, yaitu doakanlah aku di altar Allah di mana pun engkau berada”. Augustinus bersama Adeodatus berserta kedua temannya berangkat ke Tagaste.

Cita-cita Augustinus sekarang adalah hidup sebagai seorang biarawan. Tahun 388 ia bersama dengan Alypius dan Evodius membentuk suatu semibiara di Tagaste. Anaknya, Adeodatus, meninggal dunia di Tagaste pada tahun 390.

Pada tahun 391 Augustinus berkunjung ke Hippo Regius. Umat di Hippo Regius meminta agar Augustinus ditahbiskan menjadi presbiter untuk membantu Uskup Valerius yang sulit berkhotbah dalam bahasa Latin. Tahun 396 Uskup Valerius meninggal dan Augustinus ditahbiskan sebagai uskup Hippo Regius pengganti Valerius. Cita-citanya untuk hidup dengan damai dalam biara terpaksa ditinggalkannya. Ia menjadi uskup Hippo Regius sampai dengan meninggalnya pada 28 Agustus 430, ketika suku-suku bangsa Vandal mengepung kota Hippo Regius.

Augustinus adalah seorang teolog besar dalam sejarah gereja. Ia adalah murid Paulus. Ia banyak menulis yang di dalamnya kita dapat menimba pandangan teologianya. Ia juga seorang yang dikenal sebagai penentang penyesat-penyesat yang gigih. Perlawanannya dengan Donatisme menyebabkan ia menguraikan pandangannya tentang gereja dan sakramen. Baginya, gereja bukanlah persekutuan yang inklusif, yaitu yang hanya terdiri dari orang-orang suci. Gereja adalah kudus pada dirinya sendiri dan bukan karena kekudusan (kesucian) anggota-anggotanya. Di dalam gereja terdapat orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat. Di luar gereja juga terdapat pula orang-orang yang baik. Tampaknya Augustinus berpendapat bahwa orang-orang baik yang berada di luar gereja akan menjadi anggota gereja sebelum mereka meninggal.

Mengenai sakramen, Augustinus berpendapat bahwa sahnya sakramen bukanlah bergantung kepada kesucian orang yang melayankan sakramen tetapi bergantung kepada Kristus sendiri. Pelayan sakramen hanyalah alat dari Kristus. Itulah sebabnya, maka Augustinus menerima sakramen baptisan yang dilaksanakan oleh golongan yang memisahkan diri sebagai sakramen yang sah. Jikalau ada orang Donatisme yang kembali kepada gereja yang resmi, mereka tidak perlu dibaptiskan kembali.

Dalam perlawanannya dengan ajaran Pelagius, ia melahirkan pandangan teologianya tentang kehendak bebas, dosa turunan, dan rahmat. Ia mengajarkan bahwa manusia diciptakan Tuhan Allah dengan karunia-karunia adikodrati. Karunia-karunia ini hilang pada waktu Adam jatuh ke dalam dosa. Kehendak bebas hilang dan Adam serta keturunannya takluk di bawah dosa. Manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia hanya dapat diselamatkan karena rahmat Allah semata-mata. Sesudah Adam jatuh ke dalam dosa, seluruh manusia berada dalam keadaan tidak mungkin tidak berdosa. Allah akan memilih orang-orang yang akan menerima karunia-Nya. Nampaknya di sini Augustinus mengajarkan ajaran predestinasi, ajaran yang kemudian dikembangkan oleh Calvin abad ke-16 dan Jansen pada abad ke-18.

Sepanjang hidupnya Augustinus banyak menulis. Tulisannya yang berjudul Confessiones ditulisnya sebelum tahun 400. Di dalamnya diceritakan riwayat hidup sampai pertobatannya. Karya besarnya yang lain adalah De Civitate Dei (Kota Allah) dan De Trinitate (Trinitas). De Civitate Dei terdiri dari 22 buku. Sepuluh buku pertama menguraikan tentang iman Kristen. Dua belas buku berikutnya menguraikan tentang perjuangan kota Allah (Civitas Dei) dengan kota dunia (Civitas Terrena). Kota Allah akan mengalahkan kota dunia. Yang dimaksudkan dengan Kota Allah adalah gereja dan Kota Dunia adalah kerajaan-kerajaan dunia ini, khususnya kekaisaran Roma. De Trinitate terdiri dari lima belas buku. Sebagian besar merupakan kumpulan surat-surat, khotbah-khotbah, dan suatu kumpulan dialog filosofis. Tidak lama sebelum kematiannya ia menerbitkan bukunya yang berjudul Retractations, di mana ia meninjau kembali karya literernya.

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku : Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja
Judul artikel : Augustinus, Aurelius
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999
Penulis : Drs.F.D. Wellem, M.Th.
Halaman : 30–33
Alamat situs : http://www.bpkgm.com/