Sejarah Naipospos


Sumber:
http://www.naipospos.net/?p=90

Kearifan Menapaki Sejarah Seorang Naipospos dan Keturunannya

Oleh: Maridup Hutauruk

Kearifan menapaki sejarah seorang Naipospos dan keturunannya tentu harus arif pula mencari jatidiri dari mulai seorang Naipospos dan para keturunan yang sudah memuliakan marga-marganya. Jatidiri adalah identitas seseorang yang berisi segala informasi yang dapat dipertanggungjawabkannya untuk dikemukakan kepada siapapun. Tersematnya identitas yang menjadi jatidiri dapat terjadi dari upaya yang disengaja maupun yang akan datang dengan sendirinya. Tercantumnya suatu identitas yang menjadi jatidiri pada intinya adalah nilai-nilai kebaikan yang terutama akan berguna pada dirinya dan mungkin pula akan berguna pada orang lain, yang artinya sudah pasti bermanfaat pada dirinya dan sesuai dengan nilai-nilainya akan dimanfaatkan pula oleh orang lain. Jatidiri tentu berawal dari sesuatu yang terkecil sampai kepada sesuatu yang lebih besar yang masih dapat didefinisikan. Apabila kita mengambil contoh yang terkecil pada seseorang yang kadang disebut sebagai pribadi, jiwa, insan, atau istilah lain yang terwakili oleh bahasa. Kemudian adapula identitas sebagai kelompok marga, suku, bahkan bangsa.

Seseorang anak yang baru terlahir di dunia ini akan langsung tersemat jatidirinya berdasarkan pengakuan orang diluar dirinya. Seseorang yang baru terlahir tersebut akan mendapatkan jatidirinya sebagai jenis kelamin, laki-laki atau perempuan dengan berat badan tertentu sesuai timbangannya dan dilakukan cap telapak kaki, yang kemudian akan dicatatkan menjadi identitasnya, lalu akan tergantunglah sebuah tag (sej. kartu pengenal) pada ibu jarinya atau pada tempat tidurnya yang bertuliskan semisal “putra atau putri Tn./Ny. X”.

Kemudian si anak akan dibawa oleh keluarga yang berbahagia dan dirembukkan untuk diberikan identitas lainnya dengan sebutan nama. Kalau seorang anak ditakdirkan terlahir dari pasangan orang Batak maka akan tersebutlah identitas nama yang panjang karena banyak orang merasa memilikinya, semisal kalau anak laki-laki “Abram Martin Preben Ihutan Hutauruk” atau kalau anak perempuan “Michiko Marina Marsaulina” dan nama-nama yang disematkanpun tentu mempunyai makna. Dari sejak lahir sudah mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri yang tentunya merupakan harapan dikemudian hari. Misalnya ompungnya baoa memberi nama Abram dengan latar belakang harapan sebagai mana Abraham atau Ibrahim sebelum menjadi nabi pengikut Tuhan yang disebut Abram. Demikian pula Martin dengan harapan kehidupannya nanti menggambarkan kehidupan Martin Luther sebagai bapak Kristen Protestan. Datang pula bapaknya ingin memberi nama Preben dengan harapan kehidupannya nantinya seperti pemain bola dunia dari Denmark bernama Preben Elkjaer. Datang pula ompung borunya memberi nama Ihutan dengan harapan dikemudian hari menjadi panutan. Tak ketinggalan Hutauruk sebagai identitas nama nenek moyang. Untuk nama anak perempuan juga berlatar belakang sejarahnya masing-masing, misalnya Michiko yang diberikan mamanya karena kekagumannya kepada putri Michiko dari kekaisaran Jepang, atau papanya memberi nama Marina karena harapan kecintaan pada seorang ibu, atau uwaknya (inangtua) memberi nama Marsaulina karena sewaktu lahir terlihat cantik. Demikianlah identitas seseorang menjadi jatidiri yang muncul bukan dari keinginan sendiri namun teremat menjadi harapan orang-orang sekeliling yang mempunyai latar belakang sendiri-sendiri, seperti si ompung baoa seorang yang berkecimpung di dunia keagamaan, atau seorang bapak yang punya hobby olah raga, atau seorang ibu yang merindukan keagungan.

Maka jadilah seorang anak yang ditakdirkan terlahir dari pasangan orang Batak dengan sebutan nama yang sudah harus mengemban makna kehidupannya dikemudian hari. Sang anak akan mendapat identitas pada institusi-institusi yang melindunginya seperti misalnya institusi pemerintahan yang mengeluarkan Akte Kelahiran, atau institusi keagamaan semisal gereja dengan pencatatan sejenis akte kelahiran tersebut. Sampai pada tahap yang masih sangat dini ini sudah sedemikian banyaknya kegiatan berlangsung demi untuk sebuah identitas yang akan menunjukkan jatidiri seseorang.

Dalam pertumbuhannya seorang anak mungkin akan mendapat sebutan-sebutan lainnya yang berkaitan dengan perilakunya yang biasanya selalu lebih condong kepada hal-hal yang agak menyimpang, semisal penggelaran dengan sebutan Sijogalrukkung (jogal = keras, rukkung/rungkung = tengkuk) bukan karena tengkuknya yang keras melainkan karena perilaku yang agak bandel atau sebutan Sibalgaulu (balga = besar, ulu = kepala) secara fisik mungkin memiliki kepala yang agak besar namun selalu diasumsikan sebagai seorang keras kepala, atau Sigurbakulu (gurbak = bengkak) yang diartikan seseorang yang malas, atau untuk anak perempuan ditambah gelar seperti Situit karena perilaku yang agak genit, dan lain-lain. Menyikapi suburnya pemberian gelar-gelaran pada masyarakat Batak bahkan semasa dini seseorang, maka sebuah nama bagi seorang Batak yang sudah relatif tua usia menjadi sesuatu yang hampir diharamkan untuk disebut-sebut sembarangan. Sebagai ganti nama maka ada gelar-gelar yang disematkan semisal menjadi Amani X, yang menyebutkan X nama anaknya menjadi sebutan namanya, atau Ompu Y yang menyebut Y nama cucunya sebagai pengganti namanya, bahkan untuk gelar-gelar yang bersifat sarkasmepun sering muncul sebagai sebutan pengganti nama, semisal sebutan Sibillok Borngin untuk seseorang yang sering terlihat hanya pada malam hari, atau bahkan untuk seorang penatua di gereja yang seharusnya mendapat gelar terhormat ada juga mendapat gelar dengan sebutan Sintua Pardosa (sintua = penatua, pardosa = berbuat dosa) karena mungkin adasaja perilakunya yang menyimpang dimata orang-orang sekitarnya.

Seorang anak yang bertumbuh berlanjut ke masa sekolahan, yang kemudian berlanjut dan berlanjut sehingga seseorang itupun mendapatkan identitas tambahan sebagai jatidirinya, maka muncullah gelar-gelar pendidikan didepan dan dibelakang namanya, semisar Ir, dr, drs, SH, SE, STh, SPd, DR, MA, dll., dll. Dan orang-orang Batak sudah semua gelar pendidikan ini dimilikinya baik yang Strata-1, Strata-2, Strata-3, bahkan gelar-gelar penghargaan lainnya.

Kemudian seorang anak sudah mampu mengakui dirinya sebagai pribadi yang sudah mendapatkan pencapaian-pencapaian dalam hidupnya, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan lain sebagainya yang menjadi tujuan perjalanan kehidupannya dan dituangkannya dalam bentuk cita-cita. Semua tentu memahami bahwa cita-cita adalah sesuatu yang tak mungkin dicapai seseorang oleh karena pencapaian sesuatu selalu disertai dengan munculnya keinginan baru yang kemudian dibentuknya menjadi cita-cita yang baru pula.

Setiap orang akan selalu mencari cahaya kehidupannya, karena memang benar kata orang-orang bijak bahwa cahaya merupakan sumber kehidupan. Berjalan menuju cahaya akan selalu meninggalkan bayang-bayang dibelakangnya, itulah hukum alam. Bayang-bayang yang terbentuk berupa siluet-siluet yang tidak tetap tergantung pada posisi bentuk yang berhadapan dengan cahaya. Bayang-bayang menjadi catan sejarah seseorang dalam bentuk kekaburan yang tak nyata itu akan memotivasi seseorang mencari jatidirinya. Dalam pencarian jatidiri tentu akan membekali diri dengan sejumlah pertanyaan dimana jawabannya akan bermuara menjadi jatidiri baru yang lebih kaya informasi dari jatidiri sebelumnya.

Naipospos adalah sebuah nama dari seorang insan yang ditakdirkan terlahir di Tanah Batak, dengan latar belakang sejarahnya sendiri, dimana sejumlah orang-orang yang berkepentingan berkeinginan untuk mengetahui jatidirinya. Banyak pendapat yang melingkupi cerita kehidupannya. Banyak polemik yang berkembang berusaha memaksakan kebenarannya. Banyak pula ketidak perdulian karena identitas seorang Naipospos bukanlah menjadi tujuan hidupnya saat ini. Banyak pula yang memanfatkan issu untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Banyak pula kekaburan sejarahnya dimana perjalanan masa akan cenderung memudarkan semuanya sampai tiba saatnya nanti menjadi harimau yang meninggalkan belangnya.

Daripada harimau meninggalkan belang, mungkin akan lebih baik gajah meninggalkan gading yang retak karena ada wujud yang dapat dilihat dengan mata kepala walaupun mata hati banyak melihat hal-hal lain mengenai seorang Naipospos. Anggaplah mujijat terjadi, seorang Naipospos sedang berdiri menghadap matahari dipuncak Dolok Imun, maka siluet bayang-bayangnya ditatap oleh keturunannya dari berbagai sudut pandang dibelakangnya. Intensitas cahaya matahari yang menyoroti seorang Naipospos begitu kerasnya sehingga kegelapan tubuhnya yang terlihat dari belakang diikuti oleh bayang-bayangnya yang berpendar terhampar di pelataran kaki Dolok Imun. Semua yang dibelakangnya meyakini bahwa tubuh yang terkena sinar itu, bila dapat jelas terlihat, tentu akan serta merta mengenalnya. Bila semua keturunannya ada dihadapannya maka semuanya akan berkata: “Ooo… on do hape ompu i Naipospos”.

Tentu banyak keturunannya yang hidup saat ini memiliki kecerdasan dengan berbagai latar belakang kehidupan, bahkan kalau boleh semuanya cerdas-cerdas secara genetika yang diistilahkan sekarang ini dengan IQ tinggi (intelligence quotion), tetapi ternyata IQ tinggi bukan serta merta menjadi pintar karena katanya pintar adalah proses belajar yang artinya IQ tinggi bisa saja seseorang yang bodoh. Belum lagi apa yang diistilahkan dengan EQ (emotion quotion) yang akan membawa seseorang menjadi bijak dalam menjalankan apa yang ada dalam pikirannya. Jadi perlulah kita para keturunan Naipospos menelusuri jatidiri seorang Naipospos dengan kearifan sebagaimana diistilahkan dalam peribahasa: Marbisuk songon ulok, marroha songon darapati (bijak layaknya ular, berhatinurani bagai merpati).

Oleh karena itu berikut ini penulis menawarkan langkah-langkah untuk menapaki sejarah seorang Naipospos dan keturunannya dengan suatu kearifan diri dari sudut pandang yang logis melalui pencarian jatidiri seorang Naipospos dan keturunannya yang sudah memuliakan marga-marga. Tentu ada banyak deviasi dari sejarah yang sebenarnya dan secara pasti tidak akan mungkin mengungkap sejarah sebenarnya itu. Apabila memang setuju untuk mengatakan perlu, maka hanya ada satu kata kearifan yang memungkinkan terwujudnya sejarah yang akan berkisah bagi semua keturunannya dikemudian hari:

1. Batak sebagai takdir garis keturunan.

Hampir tidak ada suku-suku di Indonesia yang mewariskan silsilah keturunan sebagaimana orang Batak yang masih tetap memberlakukan pencatatan silsilahnya sampai saat ini. Kelompok-kelompok keraton di Jawa memang masih menjaga garis keturunan darah birunya, maka semua orang Batak yang masih menjaga tarombonya layaklah disebut berdarah biru. Menjadi seorang Batak mungkin menjadi suatu keberuntungan yang tiada tara karena sedemikian banyak sebutan yang akan disandang oleh seorang Batak, semisal dengan sebutan ompung, amang, amang tua, amang uda, amang boru, amang naposo, amang bao, inang, Inang tua, inang uda, inang bao, angkang, anggi, ampara, lae, tunggane, anaha, pahompu, dll.

Pliny (the younger) orang Roma sekitar tahun 77 masehi menulis buku yang menjadi sumber ilmu oleh para ahli terutama pemetaan geografi, flora-fauna, pencacahan bangsa-bangsa tidak secara jelas menyebutkan adanya komunitas Batak walaupun ada menyebutkan bangsa Batta yang dikelompokkannya sebagai bangsa di kawasan Timur Tengah sekarang. Ada juga pendataannya sampai ke kawasan yang disebut Malaya tetapi tidak secara jelas menyebutkan. Tomme Pires ada menyebutkan tentang penduduk di pulau Sumatera. William Marsden sebagai gubernur Lampung berkebangsaan Inggeris secara jelas mendata wilayah-wilayah Batak dalam satu kerajaan dari mulai perbatasan Rao di Sumatera Barat sampai ke Aceh bagian utara dan tenggara dan dibatasi garis pantai kearah lautan Pacifik dan Selat Malaka atau hampir seluruh Sumatera Utara sekarang.

Mengenai Tarombo ada yang diuraikan oleh J.C. Vergouven, WKH Ypes dan W.M. Hutagalung. Masih sangat sedikit penelusuran tentang Batak yang dilakukan oleh penulis diantaranya dari sumber-sumber tulisan: The History of Sumatra – William Marsden 1810, Natural History – Pliny 77, The Travels – Marco Polo 1324, The Native Policies – Sir Stamford Raffles 1781 – 1826, Atlantis – Prof. Arysio Nunes dos Santos 1997, Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004 – M.C. Ricklefs 2005, Masyarakat & Hukum Adat Batak Toba – J.C. Vergouven 1933, Pustaha Batak – W.M. Hutagalung 1926, Pustaha Tumbaga Holling – Raja Patik Tampubolon 1964, Jambar Hata – Dr. J. Sihombing 1985, Dolok Pusuk Buhit – Drs. Gens G Malau, Tuanku Rao – Mangaraja Onggang Parlindungan 2007, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945 – Bungaran Antonius Simanjuntak 2006, Berhala Adat Istiadat dan Agama – O.P. Simorangkir 2006, Raja Batak – Sadar Sibarani 2006, Dalihan Natolu – Humala Simanjuntak SH 2006, Adat Dalihan Natolu – Drs. Nalom Siahaan 1982, Adat Dohot Umpama – Mangaraja Asal Siahaan, Ulos Batak Beserta Pemakaiannya – CV Tulus Jaya 2004, Penuntun Adat Praktis – Jaulahan Situmorang. Keturunan Naipospos yang ada saat ini mungkin memiliki lebih banyak referensi untuk memahami tentang Batak sebagai bangsa dan khususnya tentang sejarah Naipospos dalam rangka menelusuri jatidirinya.

2. Naipospos sebagai sebuah nama.

Sebagaimana kebiasaan bagi orang Batak bahwa nama memegang peranan penting dan bahkan nama seseorangpun menjadi sakral untuk tidak menyebutkannya secara sembarangan. Akibat yang timbul akan banyak sebutan-sebutan yang tidak jarang akan menghilangkan sebuah nama yang sebenarnya. Dalam hal Naipospos sebagai sebuah nama, ada yang menyebutkannya sebagai nama panggilan yang awalnya disebut dengan na ipos-iposon oleh karena ada tanda lahir pada wajahnya yang berbentuk ipos (kecoa) dan selanjutnya populer dengan sebutan Naipospos. Pendapat lain mengatakan bahwa Naipospos bernama Martuasame walaupun nama inipun cenderung sebagai gelar sebutan saja yang mengartikan kepada pengertian bahwa Naipospos sebagai pribadi sudah mendapat keturunan dari istri-istrinya (dua orang) dimana sebelumnya dia belum mendapat keturunan sewaktu beliau masih beristri yang pertama.

Kehormatan mendapatkan penggelarannya konon diwujudkan dalam penamaan suatu tempat di Sipoholon yang disebut sebagai Sombaon Same (kawasan keramat bernama Same. Same dapat diistilahkan sebagai butir padi yang bertumbuh menghasilkan ratusan butiran padi sebagai buahnya. Same dalam kamus bahasa Batak disebut sebagai bibit padi yang siap untuk disebarkan). Oleh karena itu ada kemungkinannya bahwa Naipospos mendapat penggelaran sebagai Martuasame setelah beliau memiliki banyak anak (5 orang anak + 1 boru? = anak perempuan) sebelum meninggal dunia. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa Martuasame adalah anak dari Naipospos yang dikelompokkan dengan Marbun sebagai Toga Marbun. Inti yang perlu diketahui dari point ini bahwa Naipospos berasal dari sebuah penggelaran na ipos-iposon dan menjadi sebuah nama Naipospos disematkan kepadanya.

3. Tarombo (Silsilah) Siraja Batak.

Silsilah Naipospos bila ditarik dari family tree Siraja Batak yang dikeluarkan oleh Yayasan Bonapasogit Indonesia merupakan urutan lingkar ke-5 (bukan generasi ke-5) yaitu: Siraja Batak – Raja Isumbaon – Tuan Sorimangaraja – Tuan Sorba Dibanua – Naipospos. Menurut pengamatan penulis bahwa urutan generasi di atas Naipospos bukanlah mewakili satu generasi melainkan dinasti yang terdiri dari sekian banyak urutan generasinya. Misalnya: Tuan Sorba Dibanua adalah satu generasi terakhir dari dinasti Sorba Dibanua . Demikian pula Tuan Sorimangaraja adalah satu generasi terakhir dari Dinasti Sorimangaraja yang terdiri dari 100 generasi?. Demikian pula Raja Isumbaon dan Siraja Batak adalah kelompok generasi dalam satu Dinasti yang bergenerasi-generasi.

Mengenai tarombo memang masih banyak yang harus dibenahi oleh karena banyak hal-hal yang berbeda secara signifikan antara satu buku dan buku lainnya yang diambil sebagai referensi. Sepertinya tarombo Sirajabatak yang dikeluarkan oleh Yayasan Bonapasogit banyak disadur dari Pustaha Batak – W.M. Hutagalung, sementara Tarombo Siraja Batak sampai Naipospos menurut Pustaha Tumbaga Holing – Raja Patik Tampubolon menjadi 12 generasi, dan ayahanda Naipospos adalah Tuan Sorimangaraja-II, bukan Tuan Sorba Dibanua. J.C. Vergoven juga ada mencantumkan tarombo Naipospos dan keturunannya walaupun tidak secara mendetail tetapi relatif lebih baik ketimbang buku W.M. Hutagalung yang sangat amburadul, khususnya untuk kelompok Naipospos. Penulis pada dasarnya lebih tertarik untuk memilih tarombo yang lebih panjang ini, karena sudah tentu lebih terperinci.

4. Orang Tua Naipospos.

Disebutkan bahwa ayahanda dari Naipospos adalah bernama Tuan Sorba Dibanua. Dengan sebutan tuan berarti jelaslah bahwa Tuan Sorba Dibanua adalah seorang oknum dari sebuah Dinasti bernama Dinasti Sorba Dibanua yang menjadi Ayah dari Naipospos. Tuan Sorba Dibanua memperistrikan dua orang istri masing-masing yang pertama Nai Anting Malela boru Pasaribu dari kawasan Laguboti dan yang seorang lagi bernama boru Sibasopaet yang dianggap sebagai putri mahluk gaib yang dijumpainya di hutan Dolok Tolong. Menurut versi Pustaha Tumbaga Holing bahwa ayahanda Naipospos adalah Tuan Sorimangaraja-II dan Tuan Sorba Dibanua adalah ompungnya. Sementara J.C. Vergouven juga mengambil silsilah Naipospos dari Tuan Sorba Dibanua sebagai ayahnya. Terserah para keturunan Naipospos sekarang ini untuk mensyahkan versi mana yang diinginkannya, apakah harus menggali semacam prasasti bersurat baru percaya, ataukah mencarinya di pustaka Belanda untuk kemudian mencari kebenaran buktinya dan mungkin pada akhirnya harus memanggil Tuhan untuk bersaksi kebenaran tarombo ini, dan mungkin-mungkin pinompar Naipospos selamanya tidak akan pernah mau mempercayai kebenarannya.

5. Ibu Naipospos.

Naipospos terlahir dari seorang ibu sebagi istri kedua ayahandanya, bernama boru Sibasopaet. Sibasopaet secara umum bagi orang Batak diartikan sebagai Majapahit. Mengetahui kata Majapahit tentu reaksi pertama kita adalah mengerjitkan pelipis mata. Dari kajian sejarah bahwa kerajaan Majapahit di abad ke-13-14 memang pernah mengadakan pelayaran ke Sumatra yang disebut Ekspedisi Pamalayu. Bahkan ada sejarah peninggalan kerajaan Singosari dan Majapahit di kawasan Simalungun sekarang. Boru Sibasopaet dikisahkan sebagai seorang ahli paranormal bijaksana dan dukun beranak yang banyak membantu dan memberi petunjuk-petunjuk kepada Tuan Sorimangaraja-II/ Tuan Sorba Dibanua yang kemudian menjadi ibunda dan ayahanda Naipospos. Orang-orang Batak generasi tua mengenal istilah sibaso adalah sebutan untuk seorang dukun beranak, atau sekarang mungkin disebut bidan atau dokter kandungan. Jadi penyebutan bahwa ibu Naipospos sebagai putri Majapahit tentu dapat dipertimbangkan kebenarannya untuk ditelusuri sejarahnya lebih lanjut.

Dikisahkan pula bahwa boru Sibasopaet memang tidak diketahui asalmuasalnya dan sertamerta saja ada dijumpai dihutan belantara. Menurut Pustaha Batak – W.M. Hutagalung, boru Sibasopaet adalah orang sakti (sombaon) yang ditemukan di hutan belantara yang kemudian menjadi istri kedua dari Tuan Sorba Dibanua kemudian menjadi ibu Naipospos, sementara menurut Pustaha Tumbaga Holing – Siboru Basopaet adalah seorang putri Majapahit yang hengkang dari suaminya (mahilolong) bersembunyi di hutan belantara dengan membawa barang-barang berharga seperti emas, intan, ulos mangiring dan lain-lainnya hingga ditemukan oleh Tuan Sorimangaraja-II dan menjadi suaminya dan kemudian menjadi ibu Naipospos. Dua versi buku untuk penamaan ibunda Naipospos adalah boru Sibasopaet (Pustaha Batak – W.M. Hutagalung), Siboru Basopaet (Pustaha Tumbaga Holing – Raja Patik Tampubolon).

6. Saudara-saudara Naipospos.

Naipospos mempunyai 7 orang saudara dan seluruhnya keterunan ayahandanya adalah 8 orang yaitu 5 orang saudaranya terlahir dari ibunya yang pertama Nai Anting Malela boru Pasaribu (versi WM Hutagalung) dan Nan Tuan Dihutarea boru Pasaribu (versi Raja Patik Tampubolon). Ke lima anaknya bernama Sibagot ni Pohan, Sipaet Tua, Silahi Sabungan, Siraja Oloan, Siraja Huta Lima. Dua orang saudaranya dan 3 beserta Naipospos sendiri adalah keturunan dari ibu kandungnya boru Sibasopaet bernama Raja Sobu, Raja Sumba, Naipospos sebagai siampudan (siampudan = anak terkecil / paling bontot).

Ada kisah lain bahwa Naipospos dan dua abangnya Raja Sobu dan Raja Sumba bukan dilahirkan oleh Siboru Basopaet akan tetapi masing-masing menetas dari tiga butir telur (mirip legenda tentang tiga dewa utama Batak) oleh karena ayah mereka Tuan Sorba Dibanua / Tuan Sorimangaraja-II sangat jarang disaksikan orang-orang menjumpai Siboru Sibasopaet sehingga dianggap terlahir dari telur. Alkisah Siboru Basopaet berniat mandi ke sumur dan melihat terletak tiga butir telur yang besarnya seperti kendi air. Seketika berbunyi burung elang diangkasa dan berkata kepada Siboru Basopaet untuk membawa ke tiga telur tersebut ke rumahnya dan meletakkannya di suatu wadah. Ketika telur pertama menetas, sedemikian marak api yang sedang dinyalakan oleh Siboru Basopaet, maka disebutlah namanya Raja Sobu (Sobu = marak). Karena letak telur kedua sumban (sumban = oleng?) maka setelah terlahir disebutlah Raja Sumba, namun ada juga yang menyebutkan namanya diambil dari nama kakeknya Raja Isumbaon. Dari telur ketiga terlahirlah seorang dengan pipinya bertanda mirip ipos (ipos = kecoa) maka dinamailah na ipos-iposon yang kemudian menjadi Naipospos.

7. Istri-istri Naipospos.

Naipospos disebutkan memiliki dua orang istri. Istri Naipospos yang pertama adalah boru Pasaribu, namanya belum diketahui. Setelah beberapa lama perkawinannya masih belum berbuah keturunan. Naipospos pergi ke arah Muara – Bakkara dan mengambil istri yang kedua disana dan mendapatkan seorang anak yang kemudian dinamai Marbunii. Ada juga versi-versi nama lain yang menyebutnya bernama Marbuun dan Marubun, tentu mempunyai latar belakang cerita yang perlu diungkap untuk mencari nama atau sebutan sebenarnya untuk dapat dicatatkan dalam sejarah Naipospos. Ada yang menyebutkan bahwa istri yang kedua juga boru Pasaribu, adik kandung istri pertama, dan juga ada berpendapat memang boru Pasaribu tetapi bukan adik kandung dari istri pertama. Ada juga yang menyebut walaupun kurang populer diketahui orang, bahwa istri Naipospos yang kedua adalah boru Sihotang?

Ada kesan bagi sebagian kecil keturunan Naipospos bahwa beristri 2 seperti Naipospos merupakan suatu kenistaan, tentu perlu adanya pemahaman bahwa mempunyai istri lebih dari satu pada masanya Naipospos dahulu kala bukan suatu kenistaan melainkan sesuatu hal yang lumrah sesuai alasannya, apalagi seperti Naipospos yang memang beralasan kuat untuk melakukan hal itu karena justru akan menjadi kenistaan bagi Naipospos apabila memang tidak mempunyai keturunan hanya karena mempertahankan satu istri. Sejarahnya bahwa ayahanda Naipospos beristri lebih dari satu, ompungnya pun beristri lebih dari satu, Sisingamangaraja-XII beristri lima, dan bahkan Raja Sulaiman (Raja Salomo) yang dipuja-puja oleh banyak orang adalah beristri 1000 (seribu) orang, mengalahkan rekor istri-istri bapaknya si David (Raja Daud) yang berjumlah 200 orang.

8. Domisili Naipospos.

Domisili ayahanda Naipospos membina keluarga bersama istri-istri dan anak-anaknya adalah di daerah Balige yang kemudian disebut tepatnya diistilahkan Lobu Parserahan. Karena ada perseteruan diantara anak-anak dari dua istri sehingga terbagi menjadi dua blok yaitu 5 orang dari keturunan yang dilahirkan oleh istri pertama melawan 3 orang dari keturunan Siboru Basopaet. Oleh karena perseteruan ini maka setelah Ayahanda Naipospos meninggal, mereka selalu mendapat terror dan hengkang dari Lobu Parserahan. Versi Pustaha Tumbaga Holling mereka bertiga mencari daerah masing-masing yaitu ada yang keseberang Sungai Sigaol, ada yang ke Muara dan ada yang ke Dolok Imun dari Lobu Galagala (Lumban Galagala). Versi Pustaha Batak mengatakan bahwa Siboru Basopaet dan anak-anaknya pindah ke lokasi bernama Lobu Galagala, kemudian karena masih diterror maka mereka pindah ke daerah bernama Pintupintu. Dari Pintupintu mereka hengkang lagi dimana Raja Sumba pindah ke arah Meat, sementara Raja Sobu, Naipospos dan ibunya pindah kearah Lobu Tangga (Tangga Lobu) di Sipoholon Silindung, dimana kemudian Siboru Basopaet meninggal dan dikuburkan di daerah Hutabarat, dan daerah itu dulunya disebut menjadi sombaon Sibasopaet. Penelusuran penulis bahwa sombaon Sibasopaet sekarang ini terdapat di daerah Hutabarat bernama Lobu Tonga tidak begitu jauh dari Tangga Lobu di kawasan Hutauruk. Ada cerita lain bahwa daerah dimana terkubur Siboru Basopaet direbut oleh marga Hutabarat yang dulunya dinamai Banuarea, dan sekarang ini ditempati marga Hutabarat Partali.

Ada juga yang mengatakan bahwa Naipospos bersama-sama dengan Guru Mangaloksa (Siopat Pusoran) membuka kampung di Silindung dimana kemudian Naipospos berketurunan di Dolok Imun. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa Guru Mangaloksa adalah generasi cucu dari Naipospos yang berabang adik dengan ompungnya si Guru Mangaloksa yaitu Raja Sobu, jadi menurut penulis kurang pas cerita ini untuk dibenarkan. Adapula versi ceritalain bahwa Naipospos pindah ke arah Laguboti di Toba dan membuka kampung bernama Hariara Simanggulu. Menurut penulis, cerita inipun kurang tepat karena yang pergi ke Hariara Simanggulu adalah anak Donda Ujung nomor tiga yaitu Ompu Nasumurung marga Hutauruk yang berasal dari Sipoholon (Lumban Baringin), tepatnya adalah anak nomor dua dari Ompu Nasumurung yang bernama Datu Jarangar dan sampai sekarang keturunannya memang masih berkampung disana beranak pinak, ada juga menggunakan marga Naipospos karena alasan sejarahnya sendiri.

Referensi lain terdapat juga dibuku berjudul Dolok Pusuk Buhit – Drs. Gens G Malau, walaupun kurang terperinci.

9. Tarombo Naipospos.

Memang masih banyak perdebatan mengenai tarombo Naipospos setelah keturunannya membentuk marga-marga. Untuk memulainya maka penulis memaparkan terlebih dahulu bahwa Naipospos mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama terlahir berurutan Donda Hopol, Donda Ujung, Ujung Tinumpak, Jamita Mangaraja, kemudian dari istri kedua bernama Marbun. Kemudian ke lima keturunan Naipospos ini disebutlah sebagai Silima Saama. Adapula Tarombo yang berkembang dan masih banyak di anut di bonapasogit yaitu bahwa Naipospos menurunkan dua toga yaitu Toga Sipoholon dan Toga Marbun (Toga Marbun dan Toga Sipoholon), walaupun kebanyakan yang mengatakan bahwa ini bukan menyatakan keturunan (generasi = anak) melainkan kelompok yang kemudian menurunkan marga-marga. Menurut Tarombo versi Yayasan Bonapasogit Indonesia bahwa Naipospos menurunkan Toga Marbun dan Martuasame (Toga Sipoholon), sementara versi Pustaha Batak – WM Hutagalung menyebutkan Toga Marbun (Marbuun) dan Martuasame, kemudian Martuasame menurunkan berurutan Donda Ujung, Donda Hopol, Ujung Tinumpak, Jamitamangaraja, padahal sebenarnya urutan yang benar adalah Donda Hopol, Donda Ujung, Ujung Tinumpak, Jamita Mangaraja. Kemudian kesalahan WM. Hutagalung masih berlanjut dengan menyebutkan bahwa Donda Ujung adalah Sibagariang, padahal sebenarnya adalah Hutauruk. Kemudian kesalahan WM. Hutagalung pun masih berlanjut dengan menyebutkan urutan berikut untuk yang dimaksud keturunan Hutauruk seperti Raja Nasumurung, si Monggop, Janjang Barani, Ompu Hapal Tua, padahal yang sebenarnya urutannya adalah Raja Sumonggop, Janjang Barani, Ompu Nasumurung, Ompu Hapal Tua.

Contoh lain yaitu dari silsilah Raja Lumban Gaol yang ditulis oleh W.M. Hutagalung bahwa Lumban Gaol menurunkan Sianggasana, Siraja Nabolon, Tompa Siriaon, sementara penulis mempunyai catatan silsilah Raja Lumban Gaol menurunkan dua yang disebut Ronggur Barita dan Tuan Jolita, sementara yang ditulis oleh W.M. Hutagalung sebenarnya adalah generasi berikutnya dari Tuan Jolita yang ditempatkannya secara tidak berurutan.

Mungkin tarombo-tarombo marga lain keturunan Naipospos bersalahan pula tertulis di Pustaha Batak – W.M. Hutagalung ini, dan ini sangat perlu perhatian dari keturunan Naipospos agar tidak menjadi referensi kebenaran pada generasi berikutnya. Perlu pula pemahaman sebagaimana pada butir no.2 bahwa Martuasame merupakan gelar dari Naipospos dan penjelasan lebih lanjut sebagaimana artikel yang ditulis oleh Ricardo Parulian Sibagariang di situs ini sebagai referensi tambahan.

10. Nama-nama keturunan Naipospos.

Sebagaimana dipaparkan dalam preambul artikel ini bahwa orang Batak sangat sungkan untuk menyebutkan nama sehingga memunculkan nama lain atau gelar-gelar dengan sebutan yang condong mengkaburkan nama sebenarnya. Tentu perlu penjelasan untuk penyebutan nama sebenarnya disamping riwayat sebutan gelar. Banyak terlihat dalam tarombo sebutan-sebutan yang menghilangkan nama person sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dan mungkinpula akan berbuntut pada persoalan generasi partubu (partubu = semarga) pada generasi-generasi selanjutnya. Sebagai contoh penyebutan Ompu, Ompu ni, Ama, Ama ni, dan sebagainya. Perlulah diketahui nama-nama dan penggelaran keturunan Naipospos seperti misalnya: Na iposiposon – Naipospos, Martuasame – ?, Marbunii/Marbuun-Marbun, Donda Hopol – Sinagabariang – marga Sibagariang, Donda Ujung – marga Hutauruk, Ujung Tinumpak – marga Simanungkalit, Jamita Mangaraja – marga Situmeang.

11. Abang beradik.

Banyak ketidak sepahaman pada saat ini setelah keturunan Naipospos membentuk marga-marga untuk saling claim siapa lebih dulu lahir dan selanjutnya mencari legitimasi sebutan abang atau adik. Kelompok Marbun (disebut kelompok karena sudah membentuk marga-marga dan sebutannya Toga Marbun) mengakui bahwa mereka menjadi abang karena lebih dulu terlahir dari ibu yang menjadi istri Naipospos. Sementara Sibagariang dan kelompok Toga Sipoholon mengakui bahwa mereka layak sebagai abang karena terlahir dari ibu yang menjadi istri pertama Naipospos. Pada dasarnya ke dua kubu sudah saling mengakui bahwa Marbun yang lebih dulu lahir dan yang lainnya kemudian, tetapi masih banyak berkembang dan dianggap masih menjadi persoalan penyebutan abang-adik, walaupun sebenarnya sudah ada kesepakatan yang elegan pada Partangiangan Pinompar Naipspos di tahun 1933 di Sipoholon bahwa intinya apabila kelompok Toga Sipoholon berkunjung kepada Toga Marbun, maka Toga Marbun layak menjadi abang, demikian pula apabila Toga Marbun berkunjung kepada Toga Sipoholon maka Toga Sipoholon layak menjadi abang. Hal ini dimaksudkan untuk terjalinnya keakraban abang-beradik tanpa ada unsur pantangan adat. Demikian pula perlakuannya pada suatu hajatan pesta. Oleh karena inipula maka Toga Marbun dan Toga Sipoholon memanggil abang kepada Sibagariang dan dianggap sebagai anak tertua (bukan karena kelahiran). Kisah ini dituturkan oleh mendiang ayahanda penulis dan termasuk mewawancarai beberapa orang tua-tua yang dianggap memahami banyak tentang sejarah keturunan Naipospos.

12. Marga-marga Keturunan Naipospos.

Pada masa kehidupan Naipospos disebut gabe (= mempunyai anak laki-laki dan perempuan) tentulah anak-anaknya belum menjadi marga-marga melainkan hanya sebatas nama. Perlu juga ditelusuri boru naipospos kepada marga apa kawin? Menurut informasi bahwa boru (anak perempuan) Naipospos hanya ada dari istrinya yang kedua dan tentu dapat disimpulkan berdasarkan legendanya bahwa boru Naipospos adalah iboto (iboto/ito = adik perempuan) kandung dari Marbun. Anak-anak Naipospos dari istrinya yang pertama disebut berurutan bernama Donda Hopol, Donda Ujung, Ujung Tinumpak, Jamita Mangaraja. Kemudian nama-nama ini berubah menjadi marga-marga yang disebutkan berurutan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang. Perubahan nama menjadi marga ini tentu berlatar belakang cerita atau sejarah yang perlu untuk diungkapkan dan pada generasi keberapa sebenarnya syah menjadi marga.

Kemudian dari istrinya yang kedua terlahirlah anak yang digelari dengan nama Marbunii (Marubun/Marbuun?), kemudian menjadi Marbun dan menjadi marga Marbun sampai terjadinya pembentukan marga-marga baru turunan Marbun yang diambil dari nama-nama kampungnya yaitu Lumban Batu menjadi marga Lumbanbatu, Banjar Nahor menjadi marga Banjarnahor, Lumban Gaol menjadi marga Lumbangaol. J.C. Vergouven mencatatkan kelompok Toga Marbun memunculkan marga Lumbanbatu, Banjarnahor, Lumbangaol dimana dari marga Lumbanbatu kemudian membentuk marga-marga yang disebut marga Marbun, Sehun, Meha, Mungkur yang mendiami Barus hulu. Sementara W.M. Hutagalung tidak menyebutkan marga-marga ini dari marga di Toga Marbun mana, namun menyebutkan bahwa dari turunan Toga Marbun ada seorang bernama Digil dengan dua orang keturunannya bernama Matetu dan Babidelu dimana Matetu menurunkan marga Marbun dan marga Sehun, sementara Babidelu menurunkan marga Meha dan marga Mukur, dan keempat marga-marga ini berdomisili di Pakpak.

Oleh karena ada nama marga yang sama dari keturunan Naipospos yaitu Lumbanbatu dengan Lumbanbatu lainnya dari keturunan Sigodangulu –Siraja Oloan, dan menjadi satu kesatuan dengan marga-marga pada Toga Marbun karena adanya padan tentu harus pula dicermati apakah marga-marga yang muncul selanjutnya dari garis keturunan Lumbanbatu – Sigodangulu – Siraja Oloan ini, seperti marga Paman dan marga Maliam yang ada di Singkil Aceh, juga menjadi syah sebagai marga-marga keturunan Naipospos? Sebenarnya agenda seperti ini hanyalah mampu dipecahkan oleh punguan nabolon seperti yang baru berlangsung 26 Juni 2008 di Dolok Imun tempohari.

Sekarang akan menjadi penting bahwa marga-marga yang turun dari Naipospos menjadi 11 marga sebagai berikut: Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Lumbanbatu, Banjarnahor, Lumbangaol, Marbun, Sehun, Meha, dan Mukur, dan kalau ditambah dua marga lagi yaitu Paman dan Maliam maka ada 13 marga marga keturunan Naipospos.

Kalau sekarang ini ada dari keturunan Naipospos menyebut marganya Marbun tentu saja sah apabila yang dimaksud adalah sebagaimana marga Marbun yang disebut oleh J.C. Vergouven atau W.M. Hutagalung, yaitu marga turunan dari Lumbanbatu / Toga Marbun, tetapi apabila Marbun yang dimaksud adalah dari Toga Marbun maka menurut hemat penulis sudah sebaiknya menyebutkan salah satu dari tiga marga antara Lumbanbatu atau Banjarnahor atau Lumbangaol, untuk menghindari salah anggap dari marga Marbun yang berabang adik dengan marga-marga Sehun, Meha, Mukur (Mungkur), terutama apabila harus bertegur sapa antara sesama keturunan Naipospos.

Perlu menjadi catatan bahwa pembentukan, terbentuknya, dibentuknya suatu marga pada dasarnya dimaksudkan untuk membuka sekat-sekat yang ada pada marga induknya, seperti adanya kebebasan perkawinan diantara marga-marga yang terbentuk, terlepas adanya bentuk-bentuk ikatan janji yang disebut padan diantara marga-marga yang terbentuk. Sistim kekerabatan Bangsa Batak yang melekat erat yang disebut Dalihan Natolu menjadi pemicu munculnya kerinduan diantara marga-marga membentuk suatu perkumpulan marga terutama didaerah perantauan. Apabila jumlah komunitas diantara suartu marga sudah memadai maka marga tersebut dapat langsung mendirikan satu perkumpulan marga tertentu. Apabila satu komunitas marga masih kurang memadai dalam jumlah maka biasanya mengambil nama perkumpulan dari tingkat yang lebih tinggi, misalnya kumpulan marga-marga Naipospos.

Khususnya untuk marga Sibagariang yang jumlah komunitasnya relatif masih sedikit lebih cenderung memasuki perkumpulan marga Hutauruk dan kumpulan tersebut akan berubah nama menjadi misalnya Punguan Hutauruk-Sibagarian (boru-bere). Perlu pula ada penelusuran sejarah antara marga Sibagariang dan Hutauruk oleh karena ikatan kekerabatan yang erat sebagai abang beradik, sementara dengan marga-marga lain seperti dengan Simanungkalit dan Situmeang sudah membawakan kemulian marganya masing-masing dan tidak pernah kedengaran bahwa marga Sibagariang berafiliasi ke perkumpulan marga-marga tersebut.

Khususnya marga Lumbanbatu harus pula membuat suatu catatan penting bahwa ada nama marga Lumbanbatu lain yaitu dari keturunan Sigodangulu – Siraja Oloan yang sudah membaur dengan marga Lumbanbatu, Banjarnahor, Lumbangaol.

13. Toga.

Menurut hemat penulis bahwa kata toga dimaksudkan untuk menyebutkan satu kelompok marga-marga yang menyebutkan satu nama persatuan diatas marga-marga yang sudah terbentuk pada keturunannya, artinya nama toga sebelumnya memanglah nama dari sebuah marga, atau boleh juga bukan sebagai nama marga melainkan diambil nama lain sebagai nama pemersatu. Masih lazim juga orang-orang menyebutkan nama toga menjadi marganya dan tentu ini sah-sah saja sepanjang tidak mempengaruhi kejelasan identitas suatu marga. Ada pula pengertian kata toga dimaksudkan sebagai persatuan marga-marga namun nama toga tersebut bukan sebagai marga karena nama-nama marga yang terbentuk lebih dahulu baru terjadi atas kesepakatan bersama dan diberi satu nama untuk toga tersebut misalnya Toga Sipoholon. Khususnya toga-toga yang terdapat pada keturunan Naipospos adalah Toga Sipoholon dan Toga Marbun melingkupi suatu cerita bersejarah dalam pembentukannya. Istilah Toga Sipoholon dan Toga Marbun terbentuk dari kesepahaman antara enam marga yaitu tiga marga dari Toga Sipoholon seperti Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang dan dari Toga Marbun adalah Lumbanbatu, Banjarnahor, Lumbangaol. Adanya toga-toga ini tentu tidak dimaksudkan untuk menghilangkan Sibagariang dari silsilah Naipospos, makanya sangat perlu dipertegas kesalahan penulisan tarombo Naipospos dalam referensi buku-buku yang hanya mencantumkan Toga Sipoholon dan Toga Marbun, sementara Sibagariang bukanlah masuk dalam Toga Sipoholon. Ada pula pendapat bahwa Toga Sipoholon terdiri dari empat marga seperti Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, padahal terbentuknya toga-toga tersebut dilegendakan karena persoalan yang dilakukan oleh Sibagariang. Antara dua Toga Sipoholon dan Toga Marbun memunculkan padan (sumpah janji) antara Hutauruk dan Lumbanbatu, Simanungkalit dan Banjarnahor, Situmeang dan Lumbangaol, dan Sibagariang tidak ikut dalam parpadanan. Penulis tidak menemukan kata toga dalam kamus Batak-Indonesia yang dimiliki sehingga arti bakunya masih diasumsikan seperti yang dijelaskan di atas.

Ada juga diceritakan bahwa Martuasame dan keturunannya serta Marbun dan keturunannya sama-sama keluar dari Dolok Imun dengan maksud mencari tempat yang lebih baik. Maka mereka saling membuat janji bahwa barang siapa yang mendapatkan lebih dahulu tanah yang lebih baik maka harus saling memberitahukan. Marbun dan keturunannya pergi kea rah Bakkara dan menetap disana, kemudian Martuasame dan keturunannya pergi kearah Silindung dan membuka kampung di dekat Sombaon Same. Ketika Martuasame merasa mendapat tanah yang baik maka diberitahukannya kepada Marbun agar ada paling tidak satu keluarga ikut menempati tanah yang baru itu, akan tetapi mereka tidak bersedia karena tanah yang mereka temukan sama-sama baik dan subur. Dari sinilah mulai terjadinya Toga Sipoholon dan Toga Marbun yang marpadan. Menurut versi ini tentusaja bahwa Martuasame dan Marbun adalah sama-sama anak Naipospos dan dapat diasumsikan bahwa anak-anak Martuasame adalah Donda Hopol, Donda Ujung, Ujung Tinumpak dan Jamita Mangaraja yang menjadi marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang yang menjadi Toga Sipoholon, sementara keturunan Marbun dari Lumban Batu menjadi marga Lumbanbatu, Marbun yang dari Banjar Nahor menjadi Marga Banjarnahor, Marbun yang dari Lumban Gaol menjadi marga Lumbangaol.

14. Padan (Sumpah Janji).

Padan adalah sumpah janji yang diikrarkan bersama antara satu oknum dengan oknum lainnya atau antara kelompok dengan kelompok lainnya yang masing masing secara konsekwen mematuhi dan memenuhi janji tersebut. Padan tersebut bisa terjadi antara sub-marga dengan sub marga lainnya, atau antara satu marga dengan marga-marga lainnya. Biasanya padan yang ada diantara marga-marga Batak bertopik kepada persaudaraan yang dianggap menjadi abang adik kandung sehingga para keturunannya tidak diperbolehkan saling kawin-mawin.

Pada tahun 60’an sampai 70’an, banyak orang-orang batak yang merantau kejakarja menjalin persahabatan yang sangat akrab dengan temannya bermarga lain atau bahkan dengan orang-orang dari suku lain, karena mereka merasa senasib sepenanggungan dalam suatu perjalanan, misalnya terjalinnya persahabatan selama perjalanan di laut dengan K.M. Tampomas, atau terjalin persahabatan selama perjalanan darat dengan bus Bintang Utara. Persahabatan yang seperti ini sering lebih erat dibanding dengan saudara sendiri. Maka orang Batak pun mengeluarkan kata-kata bijak yang berbunyi: “Jonok dongan partubu, jonokan dongan parhundul = Seakrab saudara semarga, masih lebih akrab saudara karena persahabatan”. Begitu kentalnya keakraban yang bersaudara dan bersahabat maka persaudaraan yang diikat oleh padan jauh lebih sakral.

Berikut adalah kisah-kisah parpadanan yang melingkupi Naipospos dan para keturunannya sebagai berikut:

a) Dikisahkan adanya padan antara sub-marga Hutauruk bernama Raja Ila Muda dan keturunannya dengan sub-marga Hutabarat bernama Raja Da Mulana dan keturunannya, sub-marga Hutapea bernama Raja Rangke Tua bersama keturunannya, sub-marga Sitompul bernama Raja Bagot Sinta dan keturunannya, dan merekalah yang digelari sebagai Raja Maropat di Silindung semasa kerajaan Sisingamangaraja-X s/d XII memerintah Tanah Batak. Bahwa diantara marga-marga ini keturunannya disebut marpadan sebagai kakak beradik yang tidak boleh saling mengawini. Padan ini sebagai bentuk penggalangan kekuatan di Silindung melawan agressi Paderi dan berlanjut dengan kecurigaan terhadap masuknya evangelisasi Kristen oleh Nomensen yang akan menghancurkan tatanan kehidupan Bangsa Batak. Terbukti bahwa Paderi memang telah menghancurkan tatanan kemasyarakatan Bangsa Batak sementara Kristen belum terbukti, mungkin nanti dan masih membutuhkan waktu untuk menilainya. Padan ini bermula semasa Sisingamangaraja-X (10) Raja Lompo gelar Ompu Tuan Nabolon Sinambela, dan dari marga Hutauruk menjadi sihahaan ni harajaon di Silindung dan digelari sebagai Raja Naopat.

b) Terbentuknya marga-marga pada kelompok Toga Marbun dikisahkan karena adanya padan. Ceritanya mungkin dapat dikaji secara lebih rinci dengan mengkoleksi segala informasi yang akurat dikemudian hari tetapi gambarannya dapat dinarasikan sebagai berikut: Dikisahkan adanya perselisihan hebat diantara keturunan Naipospos sewaktu mengadakan hajatan pesta oleh marga Sibagariang. Belum diketahui pada generasi keberapa dari Naipospos pesta ini diadakan, namun sudah banyak keturunan Naipospos pada masa itu, baik yang di Bakkara maupun yang di Sipoholon, dan bahkan dari pihak Marbun dihadiri oleh 90 orang tua-tua marga Marbun dari tiga kampung, belum lagi terhitung para ibu-ibu dan anak-anak. Sudah tentu dari Sipoholon lebih banyak yang hadir karena hajatan pesta diadakan di Sipoholon dari empat marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang.

Di Sipoholon akan diadakan pesta besar yang disebut horja (horja = pesta besar) oleh keturunan Naipospos. Marga-marga Sipoholon mengundang saudaranya marga Marbun dari Bakkara dan hal ini adalah hal yang biasa pada masa itu untuk saling mengundang marga-marga yang kakak beradik dalam satu paradaton (paradaton = hajatan adat). Pada hari yang sudah ditentukan, rombongan marga Marbun berdatangan yang dikepalai oleh tua-tua sebanyak 90 orang. Namun mereka tidak lagi menemukaan pesta karena sudah selesai dilakukan, sehingga dapatlah dibayangkan kekesalan marga Marbun yang disepelekan harga dirinya.

Marga Sibagariang melaksanakan pesta tersebut lebih dulu dari hari yang sudah ditentukan dengan alasan bahwa berdasarkan terawangan seorang datu (datu = dukun) harus diadakan sebelum hari yang disepakati sebelumnya. Marga-marga Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang melarang pesta itu diadakan karena marga Marbun belum datang karena hari yang ditentukan belum tiba, akan tetapi Sibagariang bersikeras untuk melaksanakannya sesuai nasihat datu tersebut.

Setibanya Marbun pada hari pesta yang ditentukan itu ternyata pesta sudah selesai, maka Marbun bersungut-sungut dan bahkan saling adu argumentasi (=marsipollungan). Dengan kekesalan yang hebat di hati sanubari, Marbun mengatakan bahwa mereka datang dengan beramai-ramai karena menginginkan pesta menjadi meriah akan tetapi rupanya Sibagariang hanya merindukan pesta yang sepi padahal keturunan Naipospos kan sudah banyak, demikianlah kekesalan yang diomelkan oleh Marbun kepada Sibagariang. Singkat cerita dari adu argumentasi itu, Sibagariang dengan kepercayaan diri yang tinggi karena merasa benar melaksanakan pesta atas nasihat dukunnya, dengan enteng mengatakan: “Pesta sudah selesai, makanan sudah habis, tai kerbo yang di pojok penirisan itu aja makan kalian, sudah kami onggokkan disitu bersama dengan tai-tai ternak lainnya”. Dengan hati pilu, Marbun berkata: “Masih ini bundelan undangan yang kalian berikan bahwa kami menepati hari yang ditentukan”. Lalu mereka mengajak semua undangan dari Marbun untuk martonggo (martonggo = doa khusuk kepada Mulajadi Nabolon, pencipta alam semesta) diiringi gondang (gondang = perangkat gendang tradisional). Selagi pemusik gondang mempersiapkan peralatannya, Marbun kemudian menyapa saudaranya yang dari Sipoholon seperti Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan berkata: “Kalau memang benar kalian tidak menyetujui perbuatan Sibagariang ini, marilah kita manortor (manortor = menari ritual) bersama sambil mendoakan peristiwa ini”.

Lalu 90 orang tua-tua Marbun berdiri mengelilingi borotan (borotan = tiang tambatan kerbau) yang dipotong menjadi penganan pesta diikuti pihak marga-marga Sipoholon seperti Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang. Mereka menari-nari mengelilingi tiang itu sambil menancap-nancapkan tongkatnya ke tanah. Setelah sekian lama menari hingga mendekati trance, maka diucapkanlah tonggo-tonggo tersebut terjemahannya kira-kira sebagai berikut :

Wahai Mulajadi Nabolon, Wahai junjungan (ompu) kami Raja Naipospos, junjungan persatuan kami, demikian pula junjungan kami dari marga Marbun dan junjungan kami dari marga-marga yang ada di Sipoholon. Kami keturunanmu yang datang hari ini berkeinginan untuk berkembang dalam jumlah dan bukan menginginkan jumlah keturunan yang sedikit, dan masih pantas kami dalam satu hajatan karena kami masih belum begitu banyak keturunanmu. Sudah jelas kami datang menghadiri pesta yang diadakan saudara kandung kami dari Sipoholon. Kami merasa bergembira akan menghadirinya, makanya kami datang hari ini. Tak disangka kami Marbun dilecehkan Sibagariang, menganggap remeh kami keturunan Marbun yang datang ini dengan mengadakan pestanya sebelum kami datang sesuai hari undangan. Kami merindukan jumlah keturunan yang banyak, makanya kami yang berjumlah 90 orang datang dari Bakkara, akan tetapi Sibagariang yang melecehkan kami, memang mereka menginginkan jumlah keturunan yang sedikit makanya pesta diadakannya sebelum waktunya.

Oleh karena itu junjungan kami Raja Naipospos, terimalah doa kami yang memanggil engkau, agar kami beroleh banyak keturunan, karena kami memang menginginkan keturunan yang banyak, akan tetapi Sibagariang yang melecehkan kami, biarlah mereka dan keturunannya berjumlah tidak lebih dari jumlah kami yang 90 orang bersusah payah bertongkat datang dari Bakkara melewati hutan menaiki gunung. Biarlah jumlah mereka Sibagariang hanya sebanyak jumlah tongkat kami ini, supaya ada tanda dikemudian hari dan menjadi contoh bagi orang yang tidak menepati janjinya kepada yang bersaudara abang beradik. (diterjemahkan secara bebas dari satu buku parompuan keturunan Hutauruk Datu Jarangar yang sudah cukup tua).

Demikianlah tonggo-tonggo yang dilakukan oleh marga Marbun kepada Sibagariang. Oleh karena marga Sibagariang dianggap tidak menghargai marga-marga keturunan lainnya maka terjadilah sumpah yang ditonggokan (tonggo = doa khusus kepada tuhan pencipta alam semesta) kepada Mulajadi Nabolon yang mengakibatkan terhambatnya generasi keturunan Sibagariang kedalam jumlah tertentu saja. Menurut cerita orang tua-tua bahwa tonggo-tonggo tersebut memang benar terjadi. Ada suatu kesaksian dari seorang marga Sibagariang bernama Nelson Sibagariang seorang polisi di Padang Panjang. Di tahun 1954, Nelson Sibagariang sudah berusia 33 tahun pada saat itu dan masih belum menikah karena pengakuannya masih takut apabila kutukan itu dapat terjadi padanya. Di tahun 1956 dia kawin dengan boru Pakpahan dan terakhir beritanya bertempat tinggal di Lubuk Pakam setelah pensiun.

Ada yang mengatakan bahwa jumlah tongkat itu berjumlah 99 dan disumpahkan Sibagariang tidak akan berjumlah lebih bahkan bolehjadi berkurang. Kejadian ini memang menjadi kenistaan juga bagi marga-marga keturunan Naipospos lainnya, sehingga semua marga keturunan naipospos mengadakan doa khusus dalam pertemuan di Sipoholon di Tahun 1933 dan dilanjutkan di tahun 1983, 2008, dan ternyata doa itu terkabulkan sehingga marga Sibagariang sudah berkembang dalam jumlah keturunannya sekarang ini. Puji Tuhan!

Kelanjutan perselisihan memunculkan kesepakatan bersama diantara empat marga keturunan Naipospos pada masa itu yaitu Marbun, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang. Oleh karena kelompok marbun datangnya dari tiga kampung yang relatif jauh dari tempat diadakannya hajatan di Sipoholon dimana Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang berdomisili maka disepakatilah bahwa tiga kampung Lumban Batu, Banjar Nahor, Lumban Gaol sebagai asal kelompok Marbun menjadi marga yang kemudian disebut menjadi marga Lumbanbatu, Banjarnahor, Lumbangaol masuk kelompok Toga Marbun, sementara tiga marga lainnya dari Sipoholon disebutkan menjadi kelompok marga Toga Sipoholon. Lalu dua kelompok ini bersepakat dan berikrar yang disebut padan yaitu antara marga Hutauruk dengan Lumbanbatu, antara Simanungkalit dengan Banjarnahor, antara Situmeang dengan Lumbangaol yang tidak diperbolehkan saling kawin-mawin. Oleh karena marga-marga dari Toga Sipoholon dan Toga Marbun sudah marpadan, sementara Sibagariang adalah abang kandung seibu dari marga-marga Toga Sipoholon maka kedua toga ini layak memanggil abang kepada Sibagariang (bukan karena kelahiran).

c). Tersebutlah seorang bernama Lumbanbatu sebagai adik terkecil dari tujuh bersaudara anak seorang bernama Sigodangulu dari keturunan istri kedua Siraja Oloan. Karena sesuatu hal maka Lumbanbatu ini berkunjung ke perkampungan kelompok Toga Marbun di Parlilitan yang disebut Marbundolok, yang kemudian diangkat sebagai hulubalang untuk melawan marga Simanullang yang memang konflik permusuhan dengan Toga Marbun pada masa itu. Oleh karena kehebatan Lumbanbatu ini maka Toga Marbun tidak diserang oleh kelompok Simanullang dan oleh karena itu maka terjadilah padan diantara Toga Marbun dan keturunan Sigodangulu sampai sekarang ini. Perlu dicermati bahwa Lumbanbatu yang disebutkan disini bukanlah Lumbanbatu dari Toga Marbun yang sudah syah sejarahnya, namun kemudian memang Lumbanbatu-Sigodang Ulu ini menjadi abang adik diantara marga-marga dari Toga Marbun, dan kekerabatan padan yang terlihat berlaku sampai saat ini adalah dengan Sihotang Hasugian yang memang menurut ceritanya sangat akrab dengan Lumbanbatu adiknya itu dibanding dengan abangnya yang lain. Lumbanbatu yang disebutkan ini membentuk marga baru yang disebut marga Paman dan Maliam dan beranak pinak di Singkil-Aceh.

d). Dahulu tersebutlah ceritanya bahwa marga Sihotang dan Marbun sangat akrab persahabatannya. Sihotang membantu Marbun dan mereka sama-sama berperang melawan musuh marga lain yang mau menyerang Marbun. Pada saat mereka berperang bahwa kedua istri mereka yang juga akrab dalam persahabatan sedang hamil tua dan menanti waktu kelahiran anak-anak mereka. Sewaktu ke dua istri-istri ini melahirkan pada waktu yang bersamaan dalam suasana perang mengakibatkan bayi yang baru dilahirkan tergabung bersamaan dan ternyata kedua bayi yang baru lahir adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan sehingga tidak diketahui keturunan siapa yang laki-laki maupun sebaliknya. Inilah awalnya parpadanan marga Marbun dan marga Sihotang. Tidak dapat dipastikan pada generasi keberapa kisah ini terjadi, akan tetapi Marbun pada saat itu bertempat di suatu perkampungan yang tentusaja sudah

banyak marga Marbun mardongan tubu (bersaudara semarga).

e). Lumbanbatu dengan Purba juga memiliki padan. Kebetulan penulis kurang memahami jalan ceritanya, namun karena ada kaitannya dengan marga Hutauruk, maka beginilah kira-kira wisewords yang ada:

Humbar-humbar tabu-tabu

Marpadan do hutauruk tu Purba

Alani Lumbanbatu

Ima Purba Sigulangbatu

f). Antara Simanungkalit/Hutauruk dengan Sianipar ada semacam cerita walaupun bukan disebut padan, akan menjadi kenyataan yang tak dapat dipungkiri hingga saat ini. Ceritanya bahwa dahulu ada seorang Sianipar Patuat Gaja yang beristrikan boru pinompar Naipospos yaitu boru Simanungkalit. Patuat Gaja memiliki tiga orang anak dari boru Simanungkalit bernama Guru Soaloon, Purbaraja, Datu Tapak. Ada perseteruan yang hebat antara anak-anak Patuat Gaja sehingga anaknya yang tertua Guru Soaloon dan yang termuda Datu Tapak melawan anak tengah Purbaraja dengan istrinya juga dari keturunan Naipospos yaitu boru Hutauruk. Kedua abang dan adik sampai-sampai membunuk anak penyambung keturunan Purbaraja. Tiba suatu saat istrinya boru Hutauruk sedang mengandung anak dan khawatir anaknya nanti akan dibunuh lagi oleh dua seterunya yang berabang adik, maka dia sepakat dengan edanya (eda = adik ipar perempuan) saudara perempuan suaminya boru Sianipar dari Patuat Gaja yang sedang hamil bersamaan. Kelahiran anaknya laki-laki bersamaan dengan lahirnya anak perempuan dari edanya, lalu mereka mempertukarkan pengasuhan agar tidak dibunuh oleh saudara-saudaranya itu. Sewaktu si anak sudah bertambah besar dan dia tidak lagi dapat mengandalkan perlindungan dari edanya untuk pengasuhan, maka dia menghantarkan anak laki-lakinya diasuh di kampung tulangnya marga Hutauruk sehingga selamatlah anak Sianipar ini dan berketurunan sampai sekarang yang disebut Sianipar Sibatang Buruk. Jadi kalau sianipar keseluruhan marhula-hula kepada marga Simanungkalit akan tetapi khususnya Sianipar Sibatang Buruk sangatlah dekat dengan Hutauruk tulangnya khususnya Hutauruk yang berasal dari Hutaraja.

g). Situmeang dengan marga Siahaan, penulis belum mendapat ceritanya.

h). Diantara marga Sibagariang dan Hutauruk memang tidak pernah kedengaran adanya padan akan tetapi kekerabatan ke dua marga ini memang merupakan abang beradik yang terwujud dalam konsep tidak marsiolian (tidak saling kawin mawin), walaupun konsep terbentuknya marga-marga adalah menghilangkan sekat-sekat kedekatan incest dalam perkawinan. Tidak demikian halnya kedekatan kekerabatan marga Sibagariang dengan marga Simanungkalit dan Situmeang yang terkesan seolah-oleh tidak ada hubungan persaudaraan dalam konteks kumpulan-kumpulan marga.

i). Mungkin masih ada lagi padan lainnya yang layak dipublikasikan oleh marga-marga keturunan Naipospos agar semua dapat mengetahuinya dengan harapan akan lebih bermanfaat daripada mudaratnya.

15. Penyebaran Marga-marga.

Sipoholon sebagai kawasan bonapasogit keturunan Naipospos memang masih meninggalkan tanda-tanda nyata dengan masih ditempatinya kawasan tersebut menjadi kawasan perkampungan marga-marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, terutama di kawasan Hutaraja Sipoholon. Kaki Dolok Imun sebagai perkampungan yang dibuka oleh Naipospos sendiri yang disebut Lobu Sibabiat sudah tidak terlihat puing-puing bangunan namun masih tersisa peninggalan perkampungan yang disebut Mata Mual Tabu sebagai sumber air perkampungan dulunya. Sementara dari kelompok marga-marga Toga Marbun masih mempertahankan daerah asalnya di Muara – Bakkara dan disana sudah dibangun situs bangunan tugu Toga Marbun dengan tiga buah bangunan rumah Batak sebagai simbol tiga marga yaitu Lumbanbatu, Banjarnahor, Lumbangaol. Dua kawasan inilah yang menjadi awal penyebaran tujuh marga-marga asal keturunan Naipospos, sementara empat marga lainnya seperti Marbun, Sehun, Meha, Mukur (Mungkur) dan kalau mungkin ada marga lainnya seperti Paman dan Maliam dimana terbentuknya marga-marga ini bukanlagi dari dua kawasan yang disebutkan di atas.

Marga Sibagariang sejak awal memang membuka perkampungan di Hutaraja – Sipoholon dan sebagian masih ada di kawasan kaki Dolok Imun, sebagian lagi membuka kampung di Janggar Payung Pakkat dan Pangambatan Hurlang Siantar Naipospos, disanalah mereka berketurunan. Dan mungkin masih ada di daerah lainnya.

Marga Hutauruk sudah menyebar ke banyak kawasan namun di Sipoholon masih merupakan pusat penyebarannya dimana empat ompu (leluhur) marga Hutauruk seperti Ompu Raja Sumonggop di lokasi Lumban Soit, Janjang Barani di Lumban Sundul, Ompu Na Sumurung di Lumban Baringin dan Ompu Hapal Tua di Lumban Rihit dimana awalnya mereka menyebar dari Bulusuratan Bahalbatu Humbang yang kemudian pindah ke Hutaporing Sipoholon. Keturunan Ompu Raja Sumonggop masih berkampung di Lumban Soit Sipoholon dan juga yang masih berkampung di Hutaraja dan sebagian lagi di Hutagurgur Sipoholon dan sebagian kecil ada berkampung di Hurlang Siantar Naipospos. Keturunan Janjang Barani masih berkampung di Lumban Sundul Sipoholon, lalu ada menyebar dan membuka kampung di Hurlang Siantar Naipospos. Dari Keturunan Ompu Nasumurung masih berkampung di Lumban Baringin Sipoholon dan ada yang membuka kampung di Hariara Simanggule Laguboti dan ada memakai marga Naipospos. Ompu Hapal Tua masih berkampung di Lumban Rihit dan menyebar ke Pea Najagar – Siwaluompu – Tarutung. Marga-marga Hutauruk ada juga yang membuka kampung di daerah Barus hilir. Dan mungkin masih ada di daerah lainnya.

Marga Simanungkalit juga awalnya bersama dengan Hutauruk datang dari Bulusuratan Bahalbatu Humbang kemudian ke Hutaporing Sipoholon dan menyebar membuka kampung di Hutaraja, Tornauli, Lumban Hemut, Lumban Rang, Bona Nionan, Sibuntuon, Sijambur, semuanya di Sipoholon dan sebagian ada yang di Rura Julu Hurlang dan ada juga kearah Mandailing membawakan marga Naipospos. Dan mungkin masih ada di daerah lainnya.

Marga Situmeang juga awalnya bersama Hutauruk dan Simanungkalit datang dari Bulusuratan Bahalbatu Humbang dan masih ada yang berkampung disitu, kemudian ada ke Hutaporing Sipoholon lalu menyebar ke Hutaraja, Huta Same, Lumban Hariara, Parhohosan, Gonting, Riaria, Sibadak, Sibonggurbonggur, Pintu Bosi, Situmeang, Situmeang Julu, Lumban Siantar, Ugan, semuanya di daerah Sipoholon, dan ada juga yang membuka kampung di Tarutung Bolak Hurlang Naipospos, Pansur Natolu Hurlang Naipospos, Lobu Haminjon Hurlang Naipospos, Parlombuan Hurlang, Sidapdap Hurlang Sibolga, Hatariparan Siantar Naipospos, Sahil Siantar Naipospos, ada juga di Pangaraman, Sagusagu, Ribidang daerah Barus. Dan mungkin masih ada di daerah lainnya.

Kelompok marga-marga dari Toga Marbun pada awalnya ada di daerah Muara – Bakkara dan masih ada yang berkampung di sana, yang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Marga Lumbanbatu masih ada di Hutanagodang Bakkara dan di Sipituhuta Dolok Sanggul, di Meat Toba, dan di Sigordang Samosir dan ada juga di Kelasan Barus hulu.

Marga Banjarnahor masih ada berkampung di Bakkara, Batudinding, Tapian Nauli, Sigaol, Sijamapolang, Parmonangan, Parsingguran, Hutapaung, Humbang, Parbortian, Sihikkit, Pollung. Dan mungkin masih ada di daerah lainnya.

Marga Lumbangaol masih ada berkampung di Lumbangaol Bakkara, Lumban Lingga, Lumbanmarbun, Batumaranak, Parhorian, Batumarisi, Parsingguran, Sipegepege, Sosortangga, Dolok Sanggul, Pollung, Bonanionan, Simandampin, Sibuntuon, Lumban Hariara, Aeknauli, Hutajulu, Hutapaung, Pandumaan, Simarade, Sipituhuta, Sihikkit, Parmonangan. Dan mungkin masih ada di daerah lainnya.

Turunan dari Toga Marbun yang juga membentuk marga-marga turunan seperti marga Marbun, Sehun, Meha, Mukur (Mungkur) berkembang membuka kampung di daerah Pakpak, termasuk ke daerah Kelasan Barus hulu. Ke empat marga turunan ini disebutkan dari marga asal Lumbanbatu (versi J.C. Vergouven). Turunan marga Lumbanbatu dari turunan Sigodangulu – Siraja Oloan – yang disebutkan membentuk marga baru yang disebut marga Paman dan Maliam dan beranak pinak di Singkil-Aceh, perlu menjadi catatan apakah akan masuk menjadi turunan Naipospos?

16. Situs-situs Sejarah.

Tidak banyak situs-situs sejarah yang bisa digali sebagai jejak antara untuk menapaki sejarah Naipospos yang hilang. Banyak pendapat yang bilang bahwa pembangunan tugu tidak diperlukan karena dianggap penghamburan biaya dan yang lebih ironis adanya tuduhan seolah meninggikan kultur diatas agama, padahal semua tau bahwa salah satu hukum agama yang utama mengajarkan untuk menghormati orangtua (leluhur). Dari pengamatan penulis ternyata pembangunan suatu tugu memiliki makna yang sangat tinggi bagi kelompok-kelompok marga-marga Batak karena memang beralasan kuat yang tak dapat dipungkiri bahwa pendirian tugu sebagai simbol untuk menapaki jejak sejarah, simbol kebersamaan dalam kesatuan suatu garis keturunan, sebagai simbol kesuksesan pengorganisasian suatu hajatan. Alasan yang berbau sinisme menghamburkan dana dan meninggikan kultur diatas agama ternyata lebih menguakkan luka borok akibat ketidak mampuan untuk saling bersatu mewujudkan identitas.

Penulis hanya mencatat sedikit situs-situs yang dapat dianggap sebagai jejak antara untuk menguak sejarah Naipospos dan keturunannya. Pencatatan ini lebih banyak diketahui melalui sumber-sumber tulisan di buku dan yang bersifat tanya sana-tanya sini. Untuk penggalian yang bersifat arkeologis tentu belum bermimpi sampai ke sana, akan tetapi untuk saat ini dirasa perlu ada catatannya untuk selanjutnya terserah pada rumput yang bergoyang.

Berikut ini ada beberapa situs atau yang dianggap sebagai situs sejarah yang berkaitan dengan Naipospos dan keturunannya:

1. Lobu Galagala di kawasan Dolok Tolong. Disebutkan bahwa Siboru Basopaet dan tiga anaknya termasuk Naipospos hengkang dari perkampungan itu dengan menguburkan sebagian harta benda berharga di bekas perkampungannya itu. Siboru Basopaet diketahui seorang yang memiliki harta benda pusaka seperti mas, intan, yang kemungkinan dari kerajaan Majapahit.

2. Daerah Pintupintu di perbatasan Balige dan Siborongborong merupakan perkampungan Siboru Basopaet setelah hengkang dari Lobu Galagala. Jalan lintas di daerah ini termasuk kawasan angker dan banyak terjadi kecelakaan kendaraan yang masuk jurang apabila tidak hati-hati. Di daerah lembah Pintupintu ini masih terdapat perkampungan, namun penulis belum menelusuri marga-marga apa yang berkampung disini.

3. Sombaon Sibasopaet adalah tempat dimana Siboru Basopaet ibunda Naipospos dikuburkan. Tempat ini sekarang berada di daerah Hutabarat. Menurut ceritanya bahwa sebelum Naipospos membentuk keluarganya mendirikan kampung di Dolok Imun terlebih dahulu bermukim di Tangga Lobu, daerah Hutagurgur – Sipoholon sekarang. Menurut cerita masyarakat setempat bahwa Tangga Lobu dulunya adalah perkampungan marga Hutauruk dan saat ini sudah menjadi perladangan, sementara yang disebut Sombaon Sibasopaet tidak seberapa jauh dari situ dan Sombaon Sibasopaet ini berlokasi di suatu tempat bernama Lobu Tonga dan sekarang kawasan tersebut menjadi perkampungan marga Hutabarat Partali. Ada cerita bahwa daerah ini dulunya disebut Banuarea yang direbut oleh marga Hutabarat dari marga-marga Toga Sipoholon.

4. Lobu Sibabiat yang berlokasi dikaki Dolok Imun dulunya merupakan perkampungan yang didirikan oleh Naipospos. Bekas-bekas peninggalan perkampungan memang tidak terlihat lagi, namun masih ada peninggalan perkampungan tersebut yang disebut sebagai Mual Tabu dan sekarang masih ada jejaknya. Persis dikaki Dolok Imun dekat dengan dengan Lobu Sibabiat ada berdiri satu kampung yang dihuni oleh marga Sinaga. Menurut ceritanya mereka adalah sonduk hela dari marga Hutauruk yang ada di Hutaraja.

5. Di Sipoholon kawasan perkampungan marga Situmeang disebutkan ada daerah yang disebut Sombaon Same dimana dipercaya bahwa Martuasame dikuburkan disitu, Ada juga yang mengatakan bahwa Martuasame adalah gelar Naipospos sendiri. Dulunya sekitar itu merupakan perkampungan yang disebut Huta Same.

6. Di puncak Dolok Imun ada didirikan semacam bangunan batu bertanda yang didirikan setelah pertemuan pinompar Naipospos di tahun 1983.

7. Di Siantar Naipospos ada terdapat prasasti yaitu batu bersurat yang perlu diterjemahkan apakah ada kaitannya dengan sejarah keturunan Naipospos karena disana ada perkampungan marga-marga keturunan Naipospos.

8. Di Hutaraja, marga Sibagariang mendirikan tugu parsadaan Sibagariang. Juga ada terdapat tugu parompuan Sibagariang didirikan di Hutaraja.

9. Di Bakkara ada didirikan Tugu Toga Marbun dengan tiga buah bangunan bentuk Rumah Batak sebagai simbol tiga marga Lumbanbatu, Banjarnahor dan Lumbangaol.

10. Mungkin sudah banyak juga tugu-tugu parompuan yang dibangun diberbagai daerah dimana keturunan Naipospos menyebar dan tentu saja dalam setiap pembangunan tugu parompuan itu selalu mengandung nilai sejarah yang juga berguna sebagai informasi memperkaya catatan sejarah Naipospos.

Demikianlah sebagian informasi mengenai Naipospos dan keturunannya yang boleh jadi sebagai referensi dengan memilah-milah berdasarkan kebenaran yang disepakati bersama. Kearifan untuk menapaki sejarah Naipospos dan keturunannya haruslah membawakan semua suara-suara dari seluruh marga-marga yang telah terbentuk dari keturunan Naipospos. Sebenar apapun informasi yang dipaparkan oleh siapapun saat ini tentu tidak menjadi kebenaran mutlak yang dipaksakan untuk diterima oleh orang lain, melainkan diperlukan wadah-wadah yang mewakili semua marga-marga dari keturunan Naipospos, sehingga tiba saat yang tepat untuk disyahkan menjadi sejarah yang otentik kalau memang perlu. Jangan pula terlalu berharap bahwa setiap insan harus diambil suara persetujuannya untuk mengatakan benar atau tidaknya suatu cerita tentang Naipospos, sementara insan-insan tersebut belum mewakili kepedulian tentang sejarah Naipospos. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah : “Seberapa pentingkah Sejarah Naipospos & Keturunannya diungkap kebenarannya untuk diketahui oleh seluruh keturunannya?”

Akhir kata, apabila ada cerita dari suatu peristiwa yang kurang pas atau menyimpang, atau bahkan kontradiktif dengan yang diketahui oleh masing-masing insan keturunan Naipospos, mohon dimaklumi bahwa tulisan ini sesungguhnya disampaikan hanya untuk membuka cakrawala berpikir dan mungkin ada perlunya, dan semuanya yang dipaparkan disini bukanlah semata-mata rekaan melainkan berdasarkan tinjauan buku, dipetik dan dikoleksi dari beberapa diskusi dengan berbagai kalangan yang dianggap mengetahui penggal-penggal cerita yang dipaparkan disini. Apabila memang tidak ada maknanya, anggap saja sebagai penggirik telinga.

Titip salam kepada semua keturunan Naipospos melalui saudara-saudaraku yang berkesempatan mengunjungi situs ini untuk memberitahukan kepada semuanya bahwa ada sesuatu yang penting dan perlu diketahui tentang Naipospos dan Keturunannya. HORAS.

Oleh Maridup Hutauruk.

Mei 2009

Leave a comment